A.
Pendahuluan
Fenomena pailit atau dikenal dengan istilah kebangkrutan perusahaan tidak
hanya gejala yang terjadi di negara-negera berkembang seperti Indonesia, akan
tetapi merupakan suatu gejala universal dan bahkan juga di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat. Kepailitana terhadap suatu perusahaan akan digunakan
jika gejala kebangkrutan tersebut tidak dapat diatasi dengan langkah-langkah
lain yang ada.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran
terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu lazimnya
disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari
usaha debitur yang telah mengalami kemunduran.
Dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur
tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan
berlomba dengan segala cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang
tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya
terlebih dahulu. Kreditur yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran
karena harta debitur sudah habis diambil oleh kreditur yang lebih dahulu. Berdasarkan
alasan tersebut timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil
mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur.[1]
Selain itu, lembaga kepailitan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok di
dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab
pelaku bisnis keluar dari pasar. Begitu memasuki pelaku bisnis bermain di dalam
pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena
pasar, maka dapat keluar dari pasar. Hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan
itu berperan.
Selanjutnya makalah ini akan membahas tentang kepailitan dari aspek hukum
positif dan hukum Islam. Pembahasan tersebut sebagai upaya perbandingan antara
keduanya dengan memetakkan dimana titik persamaan dan perbedaann antara syariat
Islam dalam mengatur ranah bisnis khususnya dalam persolan kepailitan dengan
peraturan perundangan nasional dengan harapan dapat digunakan untuk memperkaya
khazanah keilmuan dalam dunia hukum.
B.
Sejarah dan Pengertian Kepailitan
Lembaga hukum kepailitan bukan merupakan lembaga yang baru sama sekali
dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga kepailitan telah ada sejak zaman Hindia
Belanda yang diatur dalam Failiisement Verordening atau Undang-Undang Kepailitan
sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No.217 juncto
Staatsblad Tahun 1906 No. 348. Mengingat peraturan kepailitan tersebut
sudah tidak sesuai lagi untuk penyelesaian utang piutang dalam kegiatan bisnis
dan terdapat beberapa kelemahan yang dapat dijadikan celah penyalahgunaan dalam
bisnis, maka diperlukan adanya penyesuaian.
Penyesuaian dilakukan dengan adanya peraturan pemerintah pengganti UU No.1
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian
diganti dengan UU No.4 Tahun 1998 Tentang penetapan Perpu No.1 Tahun 1998 yang
menjadi Undang-Undang. Dalam banyak kasus kepailitan lebih digunakan oleh para kreditur
sebagai alat untuk menagih utang dan bukan sebagai alat untuk mencari jalan
keluar dari keadaan ketidakmampuan untuk membayar utangnya. Untuk mengatasi
banyaknya kelemahan dan kekurangan UU Kepailitan tersebut, maka lahirlah UU
No.37 Tahun 2004 tantang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Adapun kata pailit berasal dari bahasa perancis “failite” yang
berarti kemacetan pembayaran. Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan dan
Perdagangan sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady bahwa yang dimaksud dengan
pailit adalah seseorang yang oleh pengadilann dinyatakan bangkrut dan yang
aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utangnya.[2]
Sedangkan kepalitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum
atas seluruh kekayaan debitur pailit baik yang telah ada maupun yang akan ada
di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator
dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit
tersebut secara proposional (prorate parte) dan sesuai dengan
struktur kreditur.[3]
Peter J.M. declerq menekankan bahwa kepailitan lebih ditujukan kepada debitur
yang tidak membayar utang-utangnya kepada para krediturnya. Tidak membayarnya debitur
tersebut tidak perlu diklasifikasikan bahwa ia apakah benar-benar tidak mampu
melakukan pembayaran utangnya tersebut ataukah karena tidak mau membayar
kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. [4]
Maka secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan
semua aset debitur yang dimasukkan kedalam permohonan pailit. Debitur pailit
tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan
tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di
dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu.[5]
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas
maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas
harta kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang
diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang
pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan
pengawasan pihak yang berwajib.[6]
Dikatakan sita umum, karena sita tadi hanya untuk kepentingan seorang atau
beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata
lain untuk mencegah penyitaan dari
eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas
creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum
harta kekayaan (vermogensrecht). Prinsip paritas creditorium
berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang yang bergerak
maupun yang barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur
dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.
Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus
dibagikan secara proposional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur
itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan daam menerima pembayaran
tagihannya.[7]
Prinsip paritas creditorium dianut di dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Hal itu termuat dalam
pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada dikemudian hari, mejadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam
pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian maka kepailitan
adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata.[8]
Selain dua prinsip diatas, dalam sistem kepailitan terdapat pula prinsip debt
collection principle dan prinsip debt forgivness. Prinsip debt
collection principle merupakan konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitur
pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur. Pada hukum kepailitan
modern, prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk antara lain menyebabkan sita
umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur untuk selanjutnya terhadap harta
kekayaan tersebut akan dilakukan pemberesan dan likuidasi.
Sedangkan prinsip debt forgivness adalah prinsip pengampunan kepailitan
yang termanifestasikan dalam bentuk seperti debitur tidak dipenjarakan karena
gagal membayar utang, pembebasan debitur untuk membayar utang yang benar-benar
tidak dapat dipenuhi dan bahkan penghapusan utang serta dimungkinkannya memulai
usaha baru tanpa dibebani utang-utang yang lama, dalam sistem Amerika
implementasi prinsip adalah diberikannya status fresh-starting terhadap debitur
pailit. Namun demikian, di Indonesia sendiri tidak mengenal prinsip tersebut
dan tidak mengenal istilah fresh-starting setelah terjadinya kepailitan.[9]
Adapun pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan
pailit bukan hanya perusahaan saja, namun ada beberapa debitur yang dapat
dinyatakan pailit, antara lain:
1.
Setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak
menjalankan perusahaan
2.
Badan hukum, baik yang berbentuk perseroan terbatas,
firma, koperasi perusahaan negara, dan badan-badan hukum lainnya.
3.
Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapatn
dinytakan pailit apabila orang yang meninggal semasa hidupnya berada dalam
keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal
dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya.
4.
Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga
sendiri melakukan suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai
kekayaan sendiri.[10]
C.
Tujuan Undang-Undang Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk
keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersebut kepada para krediturnya[11]
Berkaitan dengan fungsi tersebut, hukum kepailitan juga sebenarnya
dibutuhkan dalam dunia bisnis untuk menyeleksi usaha yang tidak efisien. Dari
proposisi tersebut maka kapailitan dimaksudkan sebagai alternatif jalan keluar
dari kesulitan keuangan. Perusahaan yang tidak efisien berdampak tidak baik
terhadap perekonomian karena akan merupakan beban dari sistem ekonomi itu
sendiri. Perusahaan yang yang efisien adalah perusahaan yang dapat mengelola
harta kekayaannya dengan optimal dan tidak melakukan pinjaman secara sembarangan
tanpa perhitungan ekonomis yang matang.[12]
Menurut Levintal, tujuan hukum kepailitan (Bankruptcy law)adalah:
1.
Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur
diantara para krediturnya.
2.
Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.
3.
Memberikan perlindungan kepada debitur yang beriktikad
dari para krediturnya dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU dikemukakan beberapa faktor
perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang sebagai berikut:
1.
Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu
yang sama ada beberapa kreditur myang menaguh piutangnya dari debitur.
2.
Menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
3.
Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri, misalnya debitur berusaha
untuk memberi keuntungan kepada seseorang atau beberapa kreditur tertentu
sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur
untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para kreditur.[13]
D.
Syarat-syarat Kepailitan
Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit telah
diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi”debitur
yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilann baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih krediturnya”. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa untuk
mengajukan permohonan pailit terhadap seorang debitur harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Debitur yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua
utang, artinya mempunyai dua atau lebih kreditur. Oleh karena itu, syarat ini
disebut dengan syarat concursusu credituorium.
2.
Debitur tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah
satu krediturnya.
3.
Utang yang tidak dibayar lunas itu haruslah utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due/expired and payable), yang
dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah
kewajiban untuk membayar utang yang
telah jatuh waktu, baik kerana diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihnya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilann, arbiter, atau
majelis arbitrase. [14]
Persyaratan pailit tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 2 ayai
(1) dan pasal 8 ayat (3). Mengenai pembuktian adanya suatu utang yang tidak
dibayar harus melalui pembuktian sedehana (sumir). Secara sumir maksudnya
adalah dalam mengambil putusan, hakim tidak memerlukan alat alat pembuktian
sebagaimana diatur dalam Buku keempat KUHperdata, cukup apabila peristiwa atau
keadaan tersebut telah terbukti dengan alat-alat bukti sederhana. Maksudnya
adalah adanya fakta yang terbukti terdapat dua atau lebih kreditur yang telah
jatuh waktu dan tidak dibayar.[15]
E.
Akibat Hukum Pernyataan Kepailitan
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak
putusan itu dikeluarkan oleh hakim dimasukkan ke dalam harta pailit. Dengan
kata lain, akibat putusan pailit dan sejak putusan itu harta kekayaan debitur
berubah statusnya menjadi harta pailit. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan.
Pasal 22 UU Kepailitan menyebutkan sebagai pengecualian terhadap ketentuan
yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat beberapa harta debitur yang tidak
tidak dimasukkan sebagai harta pailit antara lain:
1.
Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapnnya, alat-alat media yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitur dan keluargannya dan bahan makanan untuk 30 hari bagi
debitur dan keluargannya yang terdapat di tempat itu.
2.
Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya
sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun,
uang tunggu atau uang tunjangan sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
3.
Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban memberi menurut undang-undang.
Harta pailit memberlakukan sifat umum dan debitur tidak lagi berwenang
untuk mengurus dan melakukan perbuatan hukum apapun yang menyangkut hartanya
itu. Lebih lanjut, debitur telah dinyatakan di dalam pengampuan sepanjang yang
menyangkut harta kekayaannya.[16]
F.
Perdamaian dan Insolvensi
Menurut pasal 114 UU kepailitan, debitur pailit berhak menawarkan suatu
perdamaian kepada semua kreditur. Perdamaian itu sendiri adalah suatu
perjanjian antara debitur dan semua krediturnya dimana diadakan suatu
pengaturan untuk melunasi suatu tagihan, yang biasanya berupa pengaturan yang menyatakan bahwa dengan membayar suatu
prosentase tertentu, dan debitur dibebaskan untuk sisanya.[17]
Proses selanjutnya adalah insolvensi. Insolvensi bermakna debitur tidak
mampu lagi membayar utang-utangnya. Insolvensi terjadi apabila di dalam suatu kepailitan
tidak ditawarkan perdamaia atau perdamaian ditolakkarena tidak dipenuhi sebagaimana
yang telah disetujui.
G.
Alternatif Penyelesaian Bank yang Bermasalah (Likuidasi dan Kepailitan
Bank)
Salah satu faktor yang membuat sisitem perbankan nasional keropos adalah
akibat perilaku pengelola dan pemilik Bank yang cenderung mengeksploitasi dan
atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha, di samping faktor
penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia.[18] Untuk mengembalikan kepercayaan masayarakat terhadap Bank nasional, pemerintah
mengeluarkan jaminan kewajiban pembayaran Bank umum atau dikenal dengan blanket
guarantee yang merupakan financial safenty net
dengan keputusan presiden No 26 Tahun 1998. Ada dua dasar hukum yang berkaitan
dengan exit policy
di sektor perbankan dari hukum positif yang terdapat dalam pasal 37 UU perbankan
yaitu sebgai berikut
- Dalam hal Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :
a.
Pemegang saham
menambah modal
b.
Pemengang saham
mengganti dengan komisaris dan atau direksi Bank
c.
Bank menghapus
bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah yang macet dan memperhitungkan
kerugian Bank dengan modalnya.
d.
Bank melakukan
marger atau konsolidasi dengan Bank lain
e.
Bank dijual
kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban
f.
Bank menyerahkan
pengeloaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain.
- Apabila:
a.
Tindakan sebagai mana dimaksud dalam ayat
1 belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank, dan atau
b.
Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan
suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan
c.
Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut
izin usaha Bank dan memerintahkan direksi bamk untuk segera menyelenggarakan
rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Bank dan membentuk tim
likuidasi.
- Dalam hal direksi Bank tidak menyelenggarakan rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapa yang berisi pembubaran badan hukum Bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang berlaku.
Selain itu juga
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UU kepailitan yang menentukan “ dalam hal
menyangkut debitur yang merupakan Bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia.”ketentuan pasal tersebut menunjukkan
bahwa Bank Indonesia mempunyai wewenang yang sangat menetukan tentang
pernyataan pailit terhadap suatu Bank. Namun dalam prakteknya sampai saat ini
tidak pernah mengajukan pailit terhadap suatu Bank.[19]
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang dikemukakan adalah
kewenangan dan pertanggung jawaban
Bank
Indonesia dalam
likuidasi Bank dari segi pandang UU Perbankan dan UU kepailitan.[20]
Bentuk hukum suatu Bank
harus jelas karena berkaitan dengan status kekayaan, pengesahan pendirian,
serta pengurus yang berwenang mewakili Bank. Bentuk hukum suatu Bank diatur dalam pasal
21 UU Perbankan yang menentukan bahwa Bank umum dapat berupa perseroan
terbatas, koperasi, atau perusahaan daerah.
Selanjutnya menurut
Pasal 82 UU Perseroan terbatas
direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perserosn perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun
diluar pengadilan. Pasal 90 Ayat (2) UU Perseroan terbatas
menentukan bahwa
dalam hal kepailitan terjadi kesalahan dan kelalaian direksi, dan kekayaan perseroan tidak cukup
untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap angata direksi secara
tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pasal 98 ayat (1) UU Perseroan terbatas
menentukan komisaris wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.[21]
Berbeda dengan lainnya, Bank merupakan badan usaha yang memiliki
karakteristik khusus dibandingkan badan usaha pada umumnya. Oleh karena itu,
proses likuidasi tidak dapat disamakan dengan prosedur yang berlaku pada pada
usaha selain Bank. Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini merpakan lex
specialis terhadap ketentuan yang bersifat umum.[22] Penyelesaian
melalui upaya kepailitan tidak dilakukan oleh Bank Indonesia karena adanya
beberapa kelemahan. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa terhadap
Bank bermasalah tidak perlu ditempuh jalur melalui Undang-Undang Kepailitan.
Likuidasi dalam kepailitananan tidak berakibat langsng bubarnya suatu
perusahaan, bahkan apabila kepailitan telah berakhir perusahaan dapat hidup
kembali dengan memenuhi persyaratan setelah direhabilitasi. Menurut Rudhy
Prasetya, konsekuensi likuidasi bagi Bank adalah bilamana menggunakan
Undang-Undang Perbankan maka aset bank yang dicairkan adalah sebagian saja
yaitu sebatas dana simpanan nasabah dan tagihan dari para krediturnya. Bank
masih dapat jalan terus dan yang mengendalikan adalah kurator diawasi oleh hakim
pengawas. Oleh karena itu, bila menggunakan kepailitan maka maksud Bank
Indonesia untuk membagikan seluruh aset bank tidak tercapai.[23]
H.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah
Penyelesaian sengketa
keperdataan di bidang muamalah termasuk dalam ranah hukum perjanjian. Oleh
karena itu, maka berlakulah kebebasan
berkontrak atau dengan kata lain menganut
stelsel terbuka (open system). Konsekuensi yuridis dari sistem ini
adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaiakan sengketa yang dialaminya
memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice
of forum).[24]
Pada Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008
tantang Perbankan Syari’ah satu ketentuannya mengatur mengenai penyelesaian
sengketa yakni pada pasal 55. Forum penyelesaian sengketa umumnya terdiri dari
dari penyelesaian sengketa litigasi dan penyelesaian sengketa nonlitigasi.
Secara litigasi dapat ditempuh melalui lembaga peradilan dan arbitrase,
sedangkan secara non litigasi dapat ditempuh melalui lembaga penyelesaian
sengketa alternatif seperti negosiasi dan konsiliasi.[25]
Mengenai penyelesaian
sengketa,
pasal 55 UU
Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah sebagaimana tersebut di atas
menyebutkan bahwa:
- Penyelesaian snegketa perbankan syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
- Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
- Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidaka boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Adapun yang dimaksud dengan penyelesaiain sengketa dilakukan sesuai dengan
isi akad adalah upaya sebagai beriku(a)musyawarah, (b) mediasi perbankan,
(c)melalui badan arbitrase syari’ah nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lainnya dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan PeradilanUmum.[26]
Sementara itu,
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun1989 tentang Peradilan Agama, menegaskan bahwa penyelesaian sengketa
dibidang ekonomi syari’ah termasuk didalamnya perbankan syari’ah menjadi
kompetensi absolut bagi pengadilan Agama. Kompetensi Absolut berarti berbicara
mengenai kewanangan keadilan tertentu terhadap suatu jenis sengketa. Dengan
demikian, pengaturan penyelesaian sengketa dalan UU No. 21 Tahun 2008,
seolah-olah inkonsisten terhadap UU No.3 Tahun 2006. Hal demikian akan memunculkan adanya ketidak
pastian hukum dan berimplikasi bagi praktik penyelesain sengketa di bidang perbankan syari’ah.[27]
Berdasarkan penjelasan
di atas, terlihat bahwa penyelesaian
sengketa perbankan syari’ah pada prinsipnya merupakan kompetensi absolut
lingkungan Peradilan Agama berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 3 tahun
2006. Namun demikian asas hukum penyelesaian sengketa
dibidang muamalat (bisnis) berlaku asas kebebasan berkontrak masih dipegang
teguh dan dipertegas melalui UU Nomor 21
tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.
Para pihak bebas memperjanjikan forum untuk meyelasaian sengketa yang
dihadapinya.
Pada prinsipnya sepanjang tidak diperjanjikan lain, kewenangan menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syari’ah khususnya perbankan syari’ah menjadi kewenangan
mutlak Peradilan Agama. PeradilanUmum baru memiliki kewenangan
sepanjang para pihak memperjanjikannya dalam akad yang mereka buat. Kebebasan
memilih forum penyelesaian
sengketa dalam Islam,
tidak disertai dengan kebebasan memilih hukum yang berlaku. Dalam penyelesaian sengeketa di bidang perbankan syari’ah
penggunaan hukum Islam atau hukum nasional yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’ah menjadi suatu keniscayaan yang bersifat imperatif atau
memaksa. Oleh karena itu, lembaga apapun yang menjadi fasilitator atau memutus
sengketa di bidang perbankan
syari’ah wajib menggunakan hukum Islam atau hukum nasinal yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam sebagai hukum materilnya.[28]
Terhadap tafsir yang
menyebutkan bahwa penempatan PeradilanUmum yang disejajarkan dengan lembaga
nonlitigasi sebagai sesuatu yang contradiction in terminis
sebagaimana tersebut diatas, Bambang hermawan berpendapat bahwa secara
hukum benar. Namun lebih penting dari itu bahwa semangat dari pembentuk undang-undang adalah
dalam rangka optimalisasi penyelesaian sengketa sengketa perbankan syari’ah
dengan tetap mempertahankan aspirasi dari masyarakat. Hikmah yang dapat diambil
adalah bahwa substansi dan nilai-nilai Islam akan mewarnai proses penyelesaian
sengketa, dimanapun
para pihak memilih forumnya. Dengan kata lain hakim-hakim di PeradilanUmum pun
secara logis akan berusaha untuk mempelajari dan menerapkan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi. [29]
Pemberian kesempatan bagi para pihak untuk memperjanjikan penyelesaian
sengketa, termasuk di dalamnya melalui pengadilan umum juga sejalan dengan salah satu prinsip pengelolaan
Bank, yakni prinsip kepercayaan (fiduciary principle). Prinsip kepercayaan
dalan UU No.21 Tahun 2009 secara implisit antara lain dapat ditemukan dalam
Pasal 39 yakni banhwa Bank syari’ah wajib menjelaskan kepada pihak kedua mengenai kemungkinan timbulnya kerugian sehubungan
dengan adanya transaksi yang dilakukan kedua belah pihak.
Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa latar belakang keluarnya pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan
syari’ah adalah dalam rangka pempertegas adanya asas kebebasan berkontrak,
yakni dalam hal penyelesaian sengketa muamalah. Para pihak bebas
menetukan tata cara dan media penyelesaian sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah. Namun, dalam hal para pihak tidak
memperjanjikan atau tidak ada kesepakatan mengenai mekanisme penyelesain
sengketannya, maka Peradilan Agama berdasarkan ketentuan pasal 49 huruf (i) UU
No. 3 tahun 2006 JO. UU No. 50 tahun 2009 mempunyai kompetensi absolut untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah.[30]
I.
Kepailitan dalam Islam
Adapun dalam fikih, pailit dikenal dengan sebutan ifla>s yang berarti tidak memiliki harta, sedangkan orang yang
pailit disebut dengan muflis. Keputusan hakim yang menyatakan bahwa seserang jatuh
pailit disebut tafli>s.
إن الإ فلاس فى ا
لشرع يطلق على معين أحد هما أن يستغر الدين ماله المدين فلا يكون فى ماله بديونه
والثانى أن لايكون له مال معلوم اصلا
Ulama fikih mendefinisikan tafli>s sebagai keputusan hakim yang melarang seseorang
bertindak atas hartanya.[31]
Larangan itu dijatuhkan karena debitur terlibat utang yang kadangkala melebihi
seluruh harta yang dimiliknya.[32]
Dalam Islam, dasar hukum yang dapat dijadikan landasan adanya kepailitan
antara lain sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah menetapkan
Muadz bin Jabal sebagai seorang terlilit utang dan tidak mampu melunasinya
(pailit). Kemudian Rasulullah melunasi utang Muadz bin Jabal dengan sisa
hartanya. Tetapi yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya, maka iapun
melakukan protes terhadap Rasululla. Protes tersebut dijawab oleh Rasulullah
dengan mengatakan “tidak ada yang dapat diberikan kepadamu selain itu”
(HR. Daruquthni dan al-Hakim).[33]
Putusan pernyataan pailit oleh pengadilann juga bersumber dari Riwayat Abd
Rahman bin Dalaf al-Muzanni bahwa seseorang dari suku Juhaynah mengalami kebangkrutan
dan masalah ini dibawa kehadapan Umar bin Khatab untuk diselesaikan. Penyelesaian
masalah ini oleh Umar bin Khattab merupakan suatu bentuk pengesahan oleh
“penguasa ” bahwa permohonan dan perintah pernyataan pailit oleh pengadilann.
Putusan pailit oleh pengadilann juga berdasarkan kepada doktrin kepentingan
umum atau mas}lahah.
Ibn Abd as-Salam merujuk kepada pendapat yang menyatakan “suatu permohonan
pailit terhadap orang yang hartanya lebih sedikit dibandingkan dengan utangnya
oleh pihak lain selain debitur atau kreditur bukan merupakan pelanggaran
terhadap hak debitur”. Hal ini mengindikasikan bahwa kepentingan kreditur
diberikan lebih dari kepentingan debitur.[34]
Kondisi lanjut atas keadaan tafli>s ini adalah adanya pelarangan atau pembekuan harta dan
tindakannya yang disebut dengan al-h}ajr . Secara etimologi al-h}ajr (pembekuan)
adalah melarang dan mempersempit. Secara terminology al-h}ajr ialah pelarangan
seseorang membelanjakan hartanya.
Pelarangan pembelanjaan harta muflis tersebut karena di dalam hartanya ada hak orang-orang
lain, yaitu hak orang yang memberikan utang kepadanya.[35] Dasar mengenai
pelarangan pembelanjaan harta ini adalah:
من أدرك متاعه بعينه
عند إنسان قد أفلس فهو أحق به
“Barang siapa yang menjumpai hartanya berada pada seseorang
laki-laki yang telah bangkrut atau pailit, maka ia lebih berhak dengan harta
tersebut daripada orang lain”.
Dikalangan ulama fikih berbeda pendapat mengenai status adanya
pemberlakuan pengampuan debitur pailit (al-h}ajr ).
Dalam hal ini imam Abu Hanifah berbendapat bahwa orang pailit tidak dikenakan al-h}ajr karena dianggap merendahkan status mereka yang memiliki
kebebasan yang merupakan hak asasi manusia. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
bahwa seluruh tindakan orang pailit baik yang bersifat pemindahan hak dengan
ganti rugi maupun tanpa ganti rugi dianggap sah.
Adapun ulama lain yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan
jumhur ulama berpendapat bahwa debitur pailit dapat dikenakan status hukumnya
dibawah pengampuan. Sebagai konsekuensinya, ia tidak dibenarkan bertindak
secara hukum untuk pemindahan hak miliknya. Hanya saja jumhur ulama berpendapat
bahwa status seseorang yang pailit di bawah pengampuan harus berdasarkan
penetapan hakim.[36]
Hikmah atas hilangnya hak debitur mengurus hartanya untuk selanjutnya di
bawah pengelolaan kurator (pengampu) tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan
pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia, akan tetapi pengampuan
itu diberlakukan untuk menunjukkan bahwa syariat benar-benar memperdulikan
orang-orang yang bermasalah dalam soal muamalah agar tidak ada pihak yang
dirugikan atau merugikan orang lain. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit
tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik agar
orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya.[37]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akibat bagi debitur
pailit dibawah pengampuan antara lain:
- Ia dilarang melakukan tindakan hukum, kecuali sebatas untuk kebutuhan hidupnya atas dasar kemanusiaan.
- Ia boleh dipenjara demi menjaga keselamatan jiwanya dengan syarat utangnya bersifat mendesak untuk dilunasi, ia mampu membayar utang namun enggan menunaikannya, atas dasar tuntutan kreditur kepada pengadilan.
- Hartanya dijual untuk melunasi utangnya
- Jika harta orang lain masih ada dalam kekuasaanya maka harus dikembalikan kepad pemiliknya.
- Jika sekiranya tidak dipenjara, maka ia harus dalam pengawasan secara terus-menerus.[38]
J.
Penyelesaian Utang dalam Islam[39]
Adapun berkaitan dengan masalah pembayaran utang, dalam Islam diajarkan
bahwa bagi debitur yang mempunyai utang kepada beberapa kreditur bagaimanapun
ia harus melunasi utangnya sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan
baik dalam keadaan pailit apalagi dalam keadaan mampu. Utang adalah tetap utang
dan wajib dilunasi sesuai janji antar pihak yang bertransaksi. Menurut Islam
utang finansial marupakan haqq al-adami> (hak manusia) yang dalam kondisi apapun harus dilunasi.[40]
Al-Qur’an menggariskan, bahwa utang harus diselesaikan terlebih dahulu
sebelum dilakukan pembagian harta warisan orang yang meninggal. (Q.S. an-Nisa>: 11-12). Pembayaran utang harus diprioritaskan, meskipun
sampai menghabiskan seluruh harta peninggalan dan diutamakan di atas semua
tanggungan dari pada wasiat dan warisan.
Ada dua peristiwa penting yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai praktik
dari ketentuan al-Qur’an ini. Pertama, Nabi tidak berkenan menshalati
orang yang meninggal dunia sebelum diselesaikan utang-utangnya atau
setidak-tidaknya ada kesanggupan dari ahli waris untuk menyelesaikannya. Kedua,
berkenaan dengan orang yang mati syahid, Nabi menegaskan bahwa seluruh dosannya
terampuni kecuali utang. [41]
Dalam persoalan utang-piutang Islam tidak hanya mengatur dan menilai
kondisi debitur saja, tetapi sekaligus juga mengatur dan menilai terhadap
kreditur, sehingga terbangun cara pandang yang imbang dan adil terhadap kedua
belah pihak. Dalam kondisi normal, utang pasti harus dibayar, namun dalam
kondisi kesulitan, pailit yang diderita oleh debitur, al-Qur’an secara bijak
menawarkan solusi yang realistis dan manusiawi. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah:280.
bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès?
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Ayat tersebut
menawarkan tiga alternatif penyelesaian kepailitan utang:
- Penangguhan pembayaran utang sampai debitur punya kemampuan mengembalikan utangnya. Dalam konteksnya perlu diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang bersama dengan lembaga debitur dan pihak kreditur.Peringanan pembayaran utang sesuai dengan kemampuan debitur.
- Pemberian keringanan ini besar kecilnya atau prosentasenya disesuaikan dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
- Pembebasan seluruh utang. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar mengalami kesulitan, tidak mampu membayar utang, adalah sangat manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitur dari seluruh utangnya. Dan ditegaskan oleh hadist Nabi S.A.W.:
من فرّج عن مسلم كربة من كرب الدّ نيا فرّج اللّه عنه كربة من
كرب يوم القيامة , واللّه في عون العبد
مادام
العبد في
عون أخيه (رواه المسلم(
“Orang yang melepaskan seorang muslim dari
kesulitannya dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat dan Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR.
Muslim)
Substansi ayat dalam surat
al-Baqarah:280 ini pada dasarnya sama dengan substansi pasal 222 ayat (1)
sampai (3) Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan:
1.
Penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitur
yang mempunyai lebih dari satu kereditor atau oleh kreditur
2.
Debitur yang tidak dapat memperkirakan tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk
mengajukan rencana pedamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada kreditur.
3.
Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
memohon agar kepada debitur diberi penundaan kewajiban pembayarna utang, untuk
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada krediturnya.
Pembebasan utang bagi debitur yang benar-benar tidak mampu lagi mambayar
tersebut sesuai dengan karakter ekonomi Islam yang bersifat ila>hiyah, insa<niyah,
akhla>qiyah dan tawa>zun.[42] Ila>hiyah dimaksudkan bahwa harta yang dimiliki manusia tidak lain
hanyalah sebatas pemilik sementara. Adanya pembebasan utang tersebus sekaligus
mencerminkan ketinggianajaran Islam yang mengedepankan niali-nilai kemanusiaan
(insa>niyah) dan akhlak (akhla>qiyah) yang mengajarkan agar sesama manusia hendaknya saling
tolong menolong dan membantu dalam banyak hal.
Solusi tersebut diatas adalah cara penyelesaian kepailitan utang secara
internal. Islam masih menawarkan teori penyelesaian kepailitan utang secara
sosial. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar pailit yang dalam istilah
hukum Islam disebut muflis, Islam
menawarkan dua cara penyelesaian sosial:
- Bantuan sosial dari masyarakat.
Cara penyelesaian
sosial semacam ini pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad pada saat itu ada
seorang pengusaha jatuh pailit dan masih menanggung beban utang yang sangat
berat akibat kegagalan dalam usaha buah-buahan. Nabi menyerukan kepada
masyarakat untuk memberikan bantuan, dan bantuan pun mengalir, meskipun
akhirnya belum juga dapat menutup seluruh utangnya. Kemudian Nabi mengambil
suatu kebijakan meminta kepada seluruh kreditur untuk mau menerima apa yang
bisa didapat dan mengikhlaskan kekurangannya. [43]
- Bantuan sosial dari lembaga zakat.
Debitur yang
bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana sosial
dari negara. Dengan catatan, utang tersebut benar-benar digunakan untuk
kebaikan atau kemaslahatan umum. Dalam pentasharufan dan pendayagunaan harta
zakat sebagaimana diatur dalam al-Qur’an surat at-Taubat: 60 bahwa diantara
delapan as}na>f
atau kelompok yang berhak menerima pembagian harat zakat adalah gharimi>n yaitu para debitur yang jatuh pailit akibat menanggung utang.
Dari uraian tesebut di atas, menjadi nampak jelas bahwa solusi yang
ditawarkan Islam untuk memecahkan masalah kepailitan utang adalah sangat
realistik, adil dan manusiawi, serta dapat diterapkan secara universal, baik
antar pribadi, atau antar entitas bisnis.
K.
Penutup dan Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pembahasan kepailitan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
- Kepailitan adalah pernyataan pailit oleh pengadilann dan sita umum atas semua semua kekayaan debitur dikarenakan suatu keadaan dimana debitur ksesulitan keuangan untuk membayar utang yang pengurusannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim.
- Berbeda dengan badan usaha umum lainnya, bank merupakan badan usaha yang memiliki karakteristik khusus dalam proses likuidasi. Penyelesaian Bank yang bermasalah melalui upaya kepailitan tidak dilakukan oleh bank Indonesia dan tidak perlu ditempuh melalui jalur Undang-Undang Kepailitan.
- Mengenai kepilitan yang menimpa institusi syari’ah seperti perbankan syari’ah, maka berlaku kebebasan berkontrak. Konsekuensi yuridis dari sistem ini adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaiakan sengketa memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice of forum). Namun demikian, Pada prinsipnya sepanjang tidak diperjanjikan lain, kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah termasuk kepailitan khususnya perbankan syari’ah menjadi kewenangan mutlak Peradilan Agama. PeradilanUmum baru memiliki kewenangan sepanjang para pihak memperjanjikannya dalam akad yang mereka buat.
- Hikmah yang dapat diambil adanya kebebasan choice of law dan choice of forum adalah bahwa substansi dan nilai-nilai Islam akan mewarnai proses penyelesaian sengketa, dimanapun para pihak memilih forumnya. Dengan kata lain hakim-hakim di Peradilan Umum pun secara logis akan berusaha untuk mempelajari dan menerapkan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi
- Adapun mengenai proses dalam aturan kepailitan,dikarenakan debitur tidak diperbolehkan melakukan perbuatan hukum atas sisa hartanya, maka penyelesaian utang piutang diawasi oleh kurator, dalam Islam, kondisi demikian dinamakan dengan al-h}ajr, yakni pengampuan atau pencegahan tehadap debitur. Pencegahan tindakan hukum terhadap debitur tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepastian bahwa utangnya kepada kreditur bisa terbayar sesuai dengan hak masing-masing oleh kurator.
- Berkaitan dengan masalah pembayaran utang, Islam mengajarkan bahwa bagi debitur yang mempunyai utang kepada beberapa kreditur harus melunasi utangnya sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan. Utang adalah tetap utang dan wajib dilunasi sesuai janji antar pihak yang bertransaksi. Menurut Islam utang finansial marupakan haqq al-adami> (hak manusia) yang dalam kondisi apapun harus dilunasi. persoalan pokok utang-piutang tetap harus diselesaiakan secara hukum meski salah satu pihak meninggal dunia yakni melalui ahli warisnya.
- Namun demikian, berbeda jika debitur dalam kondisi kesulitan, Islam menawarkan beberapa solusi antara lain:pertama, penangguhan pembayaran utang. Dalam konteksnya perlu diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang antara debitur dan pihak kreditur. Kedua, Peringanan pembayaran utang sesuai dengan kemampuan debitur. Ketiga, Pembebasan seluruh utang. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar mengalami kesulitan tidak mampu untuk membayar utang.
Daftar
Pustaka
Anisah, Siti, “Hukum Kepailitan Islam dengan Hukum Kepailitan
Amerika Serikat Sebuah Perbandingan” dalam Jurnal Media Hukum, Volume
15, No 2. (Desember: 2008).
Anshori, Abdul Ghafur, Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syari’ah : Analisis Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press,2010.
Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembyaran di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Bassam, Abdullah
bin Abdurrahman al-,
Syarah Bulu>ghul Mara>m, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Bugha, Mustahafa Dib al-, Buku Pintar Transaksi
Syari’ah, alih bahasa Fakhri Ghafur, Jakarta: Hikmah, 2009.
Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis:Membangun Wacana
Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah, Malang:UIN Malang Press,
2009.
Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UMM
Press, 2007.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam:
Fikih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Http://alhushein.blogspot.com/2012/01/hukum-kepailitan-tafli>s
-dalam-Islam.html
Http://kurniatikhalil.blogspot.com/2012/04/al-qard-pinjaman-dalam-Islam.html,
diakses pada tanggal 18 Januari 2013.
Kahlani, Muhammad bin Ismail al-, Subul as- Sala>m, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III.
Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang,Yogyakarta:
FH UII Press, 2006.
Khairandy, Ridwan, Perlindungan Dalam Undang-Undang
Kepailitan, Jakarta: Jurnal Hukum
Bisnis, 2002.
Majid AS, Abd.
Utang Luar Negeri dalam Perspektif al-Qur’an, dalam Jurnal As-Syir’ah
No.7 Th. 2000, (Yogyakarta: Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2000)
Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan:Prisip Norma
dan Praktik di Peradilan, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009.
Silondae, Arus Akbar, Pokok-Pokok Hukum Bisnis,
Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan: suatu Tinjauan
Pencucian Uang, marger, Likuidasi dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
[1]M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip
Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:Kencana Prenada Media
Group,2009), hlm.4.
[2] Muhammad Djakfar, Hukum
Bisnis:Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah,
(Malang:UIN Malang Press, 2009), hlm. 381.
[3] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip
Norma dan Praktik di Peradilan......,hlm.1.
[4] Ibid.,hlm.4.
[5] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan,
(Malang: UMM Press, 2007), hlm.22.
[6] Ridwan Khairandy,
Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2002), hlm. 94.
[7] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip
Norma dan Praktik di Peradilan,......hlm. 3.
[8] Ibid., hlm.5.
[9] Ibid., hlm.
7-9
[10] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan
Penundaan Pembyaran di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 34.
[11] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip
Norma dan Praktik di Peradilan,......hlm.2.
[12] Ibid., hlm.
15-16.
[13] Arus Akbar Silondae, Pokok-Pokok
Hukum Bisnis, (Jakarta:Salemba Empat, 2011), hlm.62.
[14] Ibid., hlm.
61-62.
[17]Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang .......,hlm. 275.
[18] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan:
suatu Tinjauan Pencucian Uang,
marger, Likuidasi dan Kepailitan.(Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hlm. 131.
[21] Ibid., 135.
[24]
Abdul Ghafur Ansori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah: Analisis
Konsep dan UU No.2 tahun 2008, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2010), hlm 97.
[25] Ibid., hlm 98.
[26]
Lihat penjelasan pasal 52 ayat (2) No 21 thaun 2008.
[27]
Abdul Ghofur Ansori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah........,hlm.
2-3.
[31] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi
dalam Islam :Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.195.
[34]
Siti Anisah, “Hukum Kepailitan Islam
dan Hukum Kepailitan Amerika Serikat
Sebuah kajian Perbandingan” dalam Jurnal Media Hukum
Volume .2 No.15 (Desember:2008), hlm.245.
[35]
http://alhushein.blogspot.com/2012/01/hukum-kepailitan-tafli>s
-dalam-Islam.html, diakses pada
tanggal 12 Januari 2013.
[36] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis.....,
hlm. 391.
[39]
Dikutip dari Majid AS, Abd. Utang Luar Negeri dalam Perspektif al-Qur’an,
dalam Jurnal As-Syir’ah No.7 Th. 2000,
(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2000) dalam
http://kurniatikhalil.blogspot.com/2012/04/al-qard-pinjaman-dalam-Islam.html,
diakses pada tanggal 18 Januari 2013.
[41]
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as- Sala>m, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt), III:48.
[42] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis.....,hlm.
404