Senin, 04 Maret 2013

Kajian Kepailitan dalam Hukum Konvensional dan Hukum Islam


A.      Pendahuluan
Fenomena pailit atau dikenal dengan istilah kebangkrutan perusahaan tidak hanya gejala yang terjadi di negara-negera berkembang seperti Indonesia, akan tetapi merupakan suatu gejala universal dan bahkan juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Kepailitana terhadap suatu perusahaan akan digunakan jika gejala kebangkrutan tersebut tidak dapat diatasi dengan langkah-langkah lain yang ada.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran.
Dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan berlomba dengan segala cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditur yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis diambil oleh kreditur yang lebih dahulu. Berdasarkan alasan tersebut timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur.[1]
Selain itu, lembaga kepailitan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Begitu memasuki pelaku bisnis bermain di dalam pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.
Selanjutnya makalah ini akan membahas tentang kepailitan dari aspek hukum positif dan hukum Islam. Pembahasan tersebut sebagai upaya perbandingan antara keduanya dengan memetakkan dimana titik persamaan dan perbedaann antara syariat Islam dalam mengatur ranah bisnis khususnya dalam persolan kepailitan dengan peraturan perundangan nasional dengan harapan dapat digunakan untuk memperkaya khazanah keilmuan dalam dunia hukum. 
B.       Sejarah dan Pengertian Kepailitan
Lembaga hukum kepailitan bukan merupakan lembaga yang baru sama sekali dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga kepailitan telah ada sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Failiisement Verordening atau Undang-Undang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No.217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348. Mengingat peraturan kepailitan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk penyelesaian utang piutang dalam kegiatan bisnis dan terdapat beberapa kelemahan yang dapat dijadikan celah penyalahgunaan dalam bisnis, maka diperlukan adanya penyesuaian.
Penyesuaian dilakukan dengan adanya peraturan pemerintah pengganti UU No.1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian diganti dengan UU No.4 Tahun 1998 Tentang penetapan Perpu No.1 Tahun 1998 yang menjadi Undang-Undang. Dalam banyak kasus kepailitan lebih digunakan oleh para kreditur sebagai alat untuk menagih utang dan bukan sebagai alat untuk mencari jalan keluar dari keadaan ketidakmampuan untuk membayar utangnya. Untuk mengatasi banyaknya kelemahan dan kekurangan UU Kepailitan tersebut, maka lahirlah UU No.37 Tahun 2004 tantang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Adapun kata pailit berasal dari bahasa perancis “failite” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady bahwa yang dimaksud dengan pailit adalah seseorang yang oleh pengadilann dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utangnya.[2] Sedangkan kepalitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proposional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur  kreditur.[3]
Peter J.M. declerq menekankan bahwa kepailitan lebih ditujukan kepada debitur yang tidak membayar utang-utangnya kepada para krediturnya. Tidak membayarnya debitur tersebut tidak perlu diklasifikasikan bahwa ia apakah benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utangnya tersebut ataukah karena tidak mau membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk itu. [4]
Maka secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua aset debitur yang dimasukkan kedalam permohonan pailit. Debitur pailit tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu.[5]
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.[6] Dikatakan sita umum, karena sita tadi hanya untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain  untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrecht). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang yang bergerak maupun yang barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur  terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proposional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan daam menerima pembayaran tagihannya.[7]
Prinsip paritas creditorium dianut di dalam sistem hukum  perdata di Indonesia. Hal itu termuat dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, mejadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian maka kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.[8]
Selain dua prinsip diatas, dalam sistem kepailitan terdapat pula prinsip debt collection principle dan prinsip debt forgivness. Prinsip debt collection principle merupakan konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur. Pada hukum kepailitan modern, prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk antara lain menyebabkan sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur untuk selanjutnya terhadap harta kekayaan tersebut akan dilakukan pemberesan dan likuidasi.
Sedangkan prinsip debt forgivness adalah prinsip pengampunan kepailitan yang termanifestasikan dalam bentuk seperti debitur tidak dipenjarakan karena gagal membayar utang, pembebasan debitur untuk membayar utang yang benar-benar tidak dapat dipenuhi dan bahkan penghapusan utang serta dimungkinkannya memulai usaha baru tanpa dibebani utang-utang yang lama, dalam sistem Amerika implementasi prinsip adalah diberikannya status fresh-starting terhadap debitur pailit. Namun demikian, di Indonesia sendiri tidak mengenal prinsip tersebut dan tidak mengenal istilah fresh-starting setelah terjadinya kepailitan.[9]
Adapun pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan pailit bukan hanya perusahaan saja, namun ada beberapa debitur yang dapat dinyatakan pailit, antara lain:
1.      Setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak menjalankan perusahaan
2.      Badan hukum, baik yang berbentuk perseroan terbatas, firma, koperasi perusahaan negara, dan badan-badan hukum lainnya.
3.      Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapatn dinytakan pailit apabila orang yang meninggal semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya.
4.      Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan sendiri.[10]
C.      Tujuan Undang-Undang Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya[11]
Berkaitan dengan fungsi tersebut, hukum kepailitan juga sebenarnya dibutuhkan dalam dunia bisnis untuk menyeleksi usaha yang tidak efisien. Dari proposisi tersebut maka kapailitan dimaksudkan sebagai alternatif jalan keluar dari kesulitan keuangan. Perusahaan yang tidak efisien berdampak tidak baik terhadap perekonomian karena akan merupakan beban dari sistem ekonomi itu sendiri. Perusahaan yang yang efisien adalah perusahaan yang dapat mengelola harta kekayaannya dengan optimal dan tidak melakukan pinjaman secara sembarangan tanpa perhitungan ekonomis yang matang.[12] Menurut Levintal, tujuan hukum kepailitan (Bankruptcy law)adalah:
1.      Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur diantara para krediturnya.
2.      Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.
3.      Memberikan perlindungan kepada debitur yang beriktikad dari para krediturnya dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU dikemukakan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai berikut:
1.      Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur myang menaguh piutangnya dari debitur.
2.      Menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
3.      Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri, misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seseorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.[13]
D.      Syarat-syarat Kepailitan
Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit telah diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi”debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilann baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengajukan permohonan pailit terhadap seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Debitur yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua utang, artinya mempunyai dua atau lebih kreditur. Oleh karena itu, syarat ini disebut dengan syarat concursusu credituorium.
2.    Debitur tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya.
3.    Utang yang tidak dibayar lunas itu haruslah utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due/expired and payable), yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban  untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik kerana diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihnya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilann, arbiter, atau majelis arbitrase. [14]
Persyaratan pailit tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 2 ayai (1) dan pasal 8 ayat (3). Mengenai pembuktian adanya suatu utang yang tidak dibayar harus melalui pembuktian sedehana (sumir). Secara sumir maksudnya adalah dalam mengambil putusan, hakim tidak memerlukan alat alat pembuktian sebagaimana diatur dalam Buku keempat KUHperdata, cukup apabila peristiwa atau keadaan tersebut telah terbukti dengan alat-alat bukti sederhana. Maksudnya adalah adanya fakta yang terbukti terdapat dua atau lebih kreditur yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.[15]
E.       Akibat Hukum Pernyataan Kepailitan
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak putusan itu dikeluarkan oleh hakim dimasukkan ke dalam harta pailit. Dengan kata lain, akibat putusan pailit dan sejak putusan itu harta kekayaan debitur berubah statusnya menjadi harta pailit. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Pasal 22 UU Kepailitan menyebutkan sebagai pengecualian terhadap ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat beberapa harta debitur yang tidak tidak dimasukkan sebagai harta pailit antara lain:
1.      Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapnnya, alat-alat media yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluargannya dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluargannya yang terdapat di tempat itu.
2.      Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
3.      Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi menurut undang-undang.
Harta pailit memberlakukan sifat umum dan debitur tidak lagi berwenang untuk mengurus dan melakukan perbuatan hukum apapun yang menyangkut hartanya itu. Lebih lanjut, debitur telah dinyatakan di dalam pengampuan sepanjang yang menyangkut harta kekayaannya.[16]
F.        Perdamaian dan Insolvensi
Menurut pasal 114 UU kepailitan, debitur pailit berhak menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditur. Perdamaian itu sendiri adalah suatu perjanjian antara debitur dan semua krediturnya dimana diadakan suatu pengaturan untuk melunasi suatu tagihan, yang biasanya berupa pengaturan  yang menyatakan bahwa dengan membayar suatu prosentase tertentu, dan debitur dibebaskan untuk sisanya.[17]
Proses selanjutnya adalah insolvensi. Insolvensi bermakna debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Insolvensi terjadi apabila di dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan perdamaia atau perdamaian ditolakkarena tidak dipenuhi sebagaimana yang telah disetujui.
G.      Alternatif Penyelesaian Bank yang Bermasalah  (Likuidasi dan Kepailitan Bank)
Salah satu faktor yang membuat sisitem perbankan nasional keropos adalah akibat perilaku pengelola dan pemilik Bank yang cenderung mengeksploitasi dan atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha, di samping faktor penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia.[18] Untuk mengembalikan kepercayaan masayarakat terhadap Bank nasional, pemerintah mengeluarkan jaminan kewajiban pembayaran Bank umum atau dikenal dengan blanket guarantee yang merupakan financial safenty net dengan keputusan presiden No 26 Tahun 1998. Ada dua dasar hukum yang berkaitan dengan exit policy di sektor perbankan dari hukum positif yang terdapat dalam pasal 37 UU perbankan yaitu sebgai berikut
  1. Dalam hal Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :
a.       Pemegang saham menambah modal
b.      Pemengang saham mengganti dengan komisaris dan atau direksi Bank
c.       Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip  syari’ah yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modalnya.
d.      Bank melakukan marger atau konsolidasi dengan Bank lain
e.       Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban
f.       Bank menyerahkan pengeloaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain.
  1. Apabila:
a.       Tindakan sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank, dan atau
b.      Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan
c.       Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank dan memerintahkan direksi bamk untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Bank dan membentuk tim likuidasi.
  1. Dalam hal direksi Bank tidak menyelenggarakan rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapa yang berisi pembubaran badan hukum Bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang berlaku.
Selain itu juga disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UU kepailitan yang menentukan “ dalam hal menyangkut debitur yang merupakan Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.”ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa Bank Indonesia mempunyai wewenang yang sangat menetukan tentang pernyataan pailit terhadap suatu Bank. Namun dalam prakteknya sampai saat ini tidak pernah mengajukan pailit terhadap suatu  Bank.[19] Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang dikemukakan adalah kewenangan dan pertanggung jawaban Bank Indonesia dalam likuidasi Bank dari segi pandang UU Perbankan dan UU kepailitan.[20]
Bentuk hukum suatu Bank harus jelas karena berkaitan dengan status kekayaan, pengesahan pendirian, serta pengurus yang berwenang mewakili Bank. Bentuk hukum suatu Bank diatur dalam pasal 21 UU Perbankan yang menentukan bahwa Bank umum dapat berupa perseroan terbatas, koperasi, atau perusahaan daerah.
Selanjutnya menurut Pasal 82 UU Perseroan terbatas direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perserosn perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Pasal 90 Ayat (2) UU Perseroan terbatas menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi kesalahan dan kelalaian  direksi, dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap angata direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pasal 98 ayat (1) UU Perseroan terbatas menentukan komisaris wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.[21]
Berbeda dengan lainnya, Bank merupakan badan usaha yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan badan usaha pada umumnya. Oleh karena itu, proses likuidasi tidak dapat disamakan dengan prosedur yang berlaku pada pada usaha selain Bank. Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini merpakan lex specialis terhadap ketentuan yang bersifat umum.[22] Penyelesaian melalui upaya kepailitan tidak dilakukan oleh Bank Indonesia karena adanya beberapa kelemahan. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa terhadap Bank bermasalah tidak perlu ditempuh jalur melalui Undang-Undang Kepailitan.
Likuidasi dalam kepailitananan tidak berakibat langsng bubarnya suatu perusahaan, bahkan apabila kepailitan telah berakhir perusahaan dapat hidup kembali dengan memenuhi persyaratan setelah direhabilitasi. Menurut Rudhy Prasetya, konsekuensi likuidasi bagi Bank adalah bilamana menggunakan Undang-Undang Perbankan maka aset bank yang dicairkan adalah sebagian saja yaitu sebatas dana simpanan nasabah dan tagihan dari para krediturnya. Bank masih dapat jalan terus dan yang mengendalikan adalah kurator diawasi oleh hakim pengawas. Oleh karena itu, bila menggunakan kepailitan maka maksud Bank Indonesia untuk membagikan seluruh aset bank tidak tercapai.[23]



H.      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah
Penyelesaian sengketa keperdataan di bidang muamalah termasuk dalam ranah hukum perjanjian. Oleh karena itu, maka berlakulah kebebasan berkontrak atau dengan kata lain menganut stelsel terbuka (open system). Konsekuensi yuridis dari sistem ini adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaiakan sengketa yang dialaminya memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice of forum).[24]
Pada Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tantang Perbankan Syari’ah satu ketentuannya mengatur mengenai penyelesaian sengketa yakni pada pasal 55. Forum penyelesaian sengketa umumnya terdiri dari dari penyelesaian sengketa litigasi dan penyelesaian sengketa nonlitigasi. Secara litigasi dapat ditempuh melalui lembaga peradilan dan arbitrase, sedangkan secara non litigasi dapat ditempuh melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif seperti negosiasi dan konsiliasi.[25]
Mengenai penyelesaian sengketa, pasal 55 UU Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah sebagaimana tersebut di atas menyebutkan bahwa:
  1. Penyelesaian snegketa perbankan syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
  2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
  3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidaka boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Adapun yang dimaksud dengan penyelesaiain sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai beriku(a)musyawarah, (b) mediasi perbankan, (c)melalui badan arbitrase syari’ah nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lainnya dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan PeradilanUmum.[26]
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama, menegaskan bahwa penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syari’ah termasuk didalamnya perbankan syari’ah menjadi kompetensi absolut bagi pengadilan Agama. Kompetensi Absolut berarti berbicara mengenai kewanangan keadilan tertentu terhadap suatu jenis sengketa. Dengan demikian, pengaturan penyelesaian sengketa dalan UU No. 21 Tahun 2008, seolah-olah inkonsisten terhadap UU No.3 Tahun 2006. Hal demikian akan memunculkan adanya ketidak pastian hukum dan berimplikasi bagi praktik penyelesain sengketa di bidang perbankan syari’ah.[27]
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa perbankan syari’ah pada prinsipnya merupakan kompetensi absolut lingkungan Peradilan Agama berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 3 tahun 2006. Namun demikian asas hukum  penyelesaian sengketa dibidang muamalat (bisnis) berlaku asas kebebasan berkontrak masih dipegang teguh dan dipertegas melalui  UU Nomor 21 tahun 2008  tentang perbankan syari’ah. Para pihak bebas memperjanjikan forum untuk meyelasaian sengketa yang dihadapinya.
Pada prinsipnya sepanjang tidak diperjanjikan lain, kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah khususnya perbankan syari’ah menjadi kewenangan mutlak Peradilan Agama. PeradilanUmum baru memiliki kewenangan sepanjang para pihak memperjanjikannya dalam akad yang mereka buat. Kebebasan memilih forum penyelesaian sengketa dalam Islam, tidak disertai dengan kebebasan memilih hukum yang berlaku. Dalam penyelesaian sengeketa di bidang perbankan syari’ah penggunaan hukum Islam atau hukum nasional yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah menjadi suatu keniscayaan yang bersifat imperatif atau memaksa. Oleh karena itu, lembaga apapun yang menjadi fasilitator atau memutus sengketa di bidang perbankan syari’ah wajib menggunakan hukum Islam atau hukum nasinal yang tidak bertentangan dengan hukum Islam sebagai hukum materilnya.[28]
Terhadap tafsir yang menyebutkan bahwa penempatan PeradilanUmum yang disejajarkan dengan lembaga nonlitigasi sebagai sesuatu yang contradiction in terminis sebagaimana tersebut diatas,  Bambang hermawan berpendapat bahwa secara hukum benar. Namun lebih penting dari itu bahwa semangat dari pembentuk undang-undang adalah dalam rangka optimalisasi penyelesaian sengketa sengketa perbankan syariah dengan tetap mempertahankan aspirasi dari masyarakat. Hikmah yang dapat diambil adalah bahwa substansi dan nilai-nilai Islam akan mewarnai proses penyelesaian sengketa, dimanapun para pihak memilih forumnya. Dengan kata lain hakim-hakim di PeradilanUmum pun secara logis akan berusaha untuk mempelajari dan menerapkan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi. [29]
Pemberian kesempatan bagi para pihak untuk memperjanjikan penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya melalui pengadilan umum juga  sejalan dengan salah satu prinsip pengelolaan Bank, yakni prinsip kepercayaan (fiduciary principle). Prinsip kepercayaan dalan UU No.21 Tahun 2009 secara implisit antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 39 yakni banhwa Bank syari’ah wajib menjelaskan kepada pihak kedua  mengenai kemungkinan timbulnya kerugian sehubungan dengan adanya transaksi yang dilakukan kedua belah pihak.
 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang keluarnya pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah adalah dalam rangka pempertegas adanya asas kebebasan berkontrak, yakni dalam hal penyelesaian sengketa muamalah. Para pihak bebas menetukan tata cara dan media penyelesaian sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah. Namun, dalam hal para pihak tidak memperjanjikan atau tidak ada kesepakatan mengenai mekanisme penyelesain sengketannya, maka Peradilan Agama berdasarkan ketentuan pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 JO. UU No. 50 tahun 2009 mempunyai kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah.[30]
I.     Kepailitan dalam Islam
Adapun dalam fikih, pailit dikenal dengan sebutan ifla>s yang berarti tidak memiliki harta, sedangkan orang yang pailit disebut dengan muflis. Keputusan hakim yang menyatakan bahwa seserang jatuh pailit disebut tafli>s.
إن الإ فلاس فى ا لشرع يطلق على معين أحد هما أن يستغر الدين ماله المدين فلا يكون فى ماله بديونه والثانى أن لايكون له مال معلوم اصلا
Ulama fikih mendefinisikan tafli>s sebagai keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya.[31] Larangan itu dijatuhkan karena debitur terlibat utang yang kadangkala melebihi seluruh harta yang dimiliknya.[32]
Dalam Islam, dasar hukum yang dapat dijadikan landasan adanya kepailitan antara lain sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah menetapkan Muadz bin Jabal sebagai seorang terlilit utang dan tidak mampu melunasinya (pailit). Kemudian Rasulullah melunasi utang Muadz bin Jabal dengan sisa hartanya. Tetapi yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya, maka iapun melakukan protes terhadap Rasululla. Protes tersebut dijawab oleh Rasulullah dengan mengatakan “tidak ada yang dapat diberikan kepadamu selain itu” (HR. Daruquthni dan al-Hakim).[33]
Putusan pernyataan pailit oleh pengadilann juga bersumber dari Riwayat Abd Rahman bin Dalaf al-Muzanni bahwa seseorang dari suku Juhaynah mengalami kebangkrutan dan masalah ini dibawa kehadapan Umar bin Khatab untuk diselesaikan. Penyelesaian masalah ini oleh Umar bin Khattab merupakan suatu bentuk pengesahan oleh “penguasa ” bahwa permohonan dan perintah pernyataan pailit oleh pengadilann. Putusan pailit oleh pengadilann juga berdasarkan kepada doktrin kepentingan umum atau mas}lahah. Ibn Abd as-Salam merujuk kepada pendapat yang menyatakan “suatu permohonan pailit terhadap orang yang hartanya lebih sedikit dibandingkan dengan utangnya oleh pihak lain selain debitur atau kreditur bukan merupakan pelanggaran terhadap hak debitur”. Hal ini mengindikasikan bahwa kepentingan kreditur diberikan lebih dari kepentingan debitur.[34]
Kondisi lanjut atas keadaan tafli>s ini adalah adanya pelarangan atau pembekuan harta dan tindakannya yang disebut dengan al-h}ajr . Secara etimologi al-h}ajr  (pembekuan) adalah melarang dan mempersempit. Secara terminology al-h}ajr  ialah pelarangan seseorang  membelanjakan hartanya. Pelarangan pembelanjaan harta muflis tersebut karena di dalam hartanya ada hak orang-orang lain, yaitu  hak  orang yang memberikan utang kepadanya.[35] Dasar mengenai pelarangan pembelanjaan harta ini adalah:
من أدرك متاعه بعينه عند إنسان قد أفلس فهو أحق به
“Barang siapa yang menjumpai hartanya berada pada seseorang laki-laki yang telah bangkrut atau pailit, maka ia lebih berhak dengan harta tersebut daripada orang lain”.
Dikalangan ulama fikih berbeda pendapat mengenai status adanya pemberlakuan  pengampuan debitur pailit (al-h}ajr ). Dalam hal ini imam Abu Hanifah berbendapat bahwa orang pailit tidak dikenakan al-h}ajr karena dianggap merendahkan status mereka yang memiliki kebebasan yang merupakan hak asasi manusia. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh tindakan orang pailit baik yang bersifat pemindahan hak dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi dianggap sah.
Adapun ulama lain yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan jumhur ulama berpendapat bahwa debitur pailit dapat dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan. Sebagai konsekuensinya, ia tidak dibenarkan bertindak secara hukum untuk pemindahan hak miliknya. Hanya saja jumhur ulama berpendapat bahwa status seseorang yang pailit di bawah pengampuan harus berdasarkan penetapan hakim.[36]
Hikmah atas hilangnya hak debitur mengurus hartanya untuk selanjutnya di bawah pengelolaan kurator (pengampu) tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia, akan tetapi pengampuan itu diberlakukan untuk menunjukkan bahwa syariat benar-benar memperdulikan orang-orang yang bermasalah dalam soal muamalah agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya.[37]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akibat bagi debitur pailit dibawah pengampuan antara lain:
  1. Ia dilarang melakukan tindakan hukum, kecuali sebatas untuk kebutuhan hidupnya atas dasar kemanusiaan.
  2. Ia boleh dipenjara demi menjaga keselamatan jiwanya dengan syarat utangnya bersifat mendesak untuk dilunasi, ia mampu membayar utang namun enggan menunaikannya, atas dasar tuntutan kreditur kepada pengadilan.
  3. Hartanya dijual untuk melunasi utangnya
  4. Jika harta orang lain masih ada dalam kekuasaanya maka harus dikembalikan kepad pemiliknya.
  5. Jika sekiranya tidak dipenjara, maka ia harus dalam pengawasan secara terus-menerus.[38]
J.        Penyelesaian Utang dalam Islam[39]
Adapun berkaitan dengan masalah pembayaran utang, dalam Islam diajarkan bahwa bagi debitur yang mempunyai utang kepada beberapa kreditur bagaimanapun ia harus melunasi utangnya sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan baik dalam keadaan pailit apalagi dalam keadaan mampu. Utang adalah tetap utang dan wajib dilunasi sesuai janji antar pihak yang bertransaksi. Menurut Islam utang finansial marupakan haqq al-adami> (hak manusia) yang dalam kondisi apapun harus dilunasi.[40]
Al-Qur’an menggariskan, bahwa utang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta warisan orang yang meninggal. (Q.S. an-Nisa>: 11-12). Pembayaran utang harus diprioritaskan, meskipun sampai menghabiskan seluruh harta peninggalan dan diutamakan di atas semua tanggungan dari pada wasiat dan warisan.  Ada dua peristiwa penting yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai praktik dari ketentuan al-Qur’an ini. Pertama, Nabi tidak berkenan menshalati orang yang meninggal dunia sebelum diselesaikan utang-utangnya atau setidak-tidaknya ada kesanggupan dari ahli waris untuk menyelesaikannya. Kedua, berkenaan dengan orang yang mati syahid, Nabi menegaskan bahwa seluruh dosannya terampuni kecuali utang. [41]
Dalam persoalan utang-piutang Islam tidak hanya mengatur dan menilai kondisi debitur saja, tetapi sekaligus juga mengatur dan menilai terhadap kreditur, sehingga terbangun cara pandang yang imbang dan adil terhadap kedua belah pihak. Dalam kondisi normal, utang pasti harus dibayar, namun dalam kondisi kesulitan, pailit yang diderita oleh debitur, al-Qur’an secara bijak menawarkan solusi yang realistis dan manusiawi. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah:280.
bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès?  
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Ayat tersebut menawarkan tiga alternatif penyelesaian kepailitan utang:
  1. Penangguhan pembayaran utang sampai debitur punya kemampuan mengembalikan utangnya. Dalam konteksnya perlu diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang bersama dengan lembaga debitur dan pihak kreditur.Peringanan pembayaran utang sesuai dengan kemampuan debitur.
  2. Pemberian keringanan ini besar kecilnya atau prosentasenya disesuaikan dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
  3. Pembebasan seluruh utang. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar mengalami kesulitan, tidak mampu membayar utang, adalah sangat manusiawi dan terpuji bila kreditur mau membebaskan debitur dari seluruh utangnya. Dan ditegaskan oleh hadist Nabi S.A.W.:
من فرّج عن مسلم كربة من كرب الدّ نيا فرّج اللّه عنه كربة من كرب يوم القيامة , واللّه في عون العبد
 مادام العبد في عون أخيه (رواه المسلم(
Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim)

            Substansi ayat dalam surat al-Baqarah:280 ini pada dasarnya sama dengan substansi pasal 222 ayat (1) sampai (3) Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan:
1.      Penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitur yang mempunyai lebih dari satu kereditor atau oleh kreditur
2.      Debitur yang tidak dapat memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana pedamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur.
3.      Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi penundaan kewajiban pembayarna utang, untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada krediturnya.
Pembebasan utang bagi debitur yang benar-benar tidak mampu lagi mambayar tersebut sesuai dengan karakter ekonomi Islam yang bersifat ila>hiyah, insa<niyah, akhla>qiyah dan tawa>zun.[42] Ila>hiyah dimaksudkan bahwa harta yang dimiliki manusia tidak lain hanyalah sebatas pemilik sementara. Adanya pembebasan utang tersebus sekaligus mencerminkan ketinggianajaran Islam yang mengedepankan niali-nilai kemanusiaan (insa>niyah) dan akhlak (akhla>qiyah) yang mengajarkan agar sesama manusia hendaknya saling tolong menolong dan membantu dalam banyak hal.
Solusi tersebut diatas adalah cara penyelesaian kepailitan utang secara internal. Islam masih menawarkan teori penyelesaian kepailitan utang secara sosial. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar pailit yang dalam istilah hukum Islam disebut muflis, Islam menawarkan dua cara penyelesaian sosial:

  1. Bantuan sosial dari masyarakat.
Cara penyelesaian sosial semacam ini pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad pada saat itu ada seorang pengusaha jatuh pailit dan masih menanggung beban utang yang sangat berat akibat kegagalan dalam usaha buah-buahan. Nabi menyerukan kepada masyarakat untuk memberikan bantuan, dan bantuan pun mengalir, meskipun akhirnya belum juga dapat menutup seluruh utangnya. Kemudian Nabi mengambil suatu kebijakan meminta kepada seluruh kreditur untuk mau menerima apa yang bisa didapat dan mengikhlaskan kekurangannya. [43]
  1. Bantuan sosial dari lembaga zakat.
Debitur yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana sosial dari negara. Dengan catatan, utang tersebut benar-benar digunakan untuk kebaikan atau kemaslahatan umum. Dalam pentasharufan dan pendayagunaan harta zakat sebagaimana diatur dalam al-Qur’an surat at-Taubat: 60 bahwa diantara delapan as}na>f atau kelompok yang berhak menerima pembagian harat zakat adalah gharimi>n yaitu para debitur yang jatuh pailit akibat menanggung utang.
Dari uraian tesebut di atas, menjadi nampak jelas bahwa solusi yang ditawarkan Islam untuk memecahkan masalah kepailitan utang adalah sangat realistik, adil dan manusiawi, serta dapat diterapkan secara universal, baik antar pribadi, atau antar entitas bisnis.
K.      Penutup dan Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pembahasan kepailitan di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Kepailitan adalah pernyataan pailit oleh pengadilann dan sita umum atas semua semua kekayaan debitur dikarenakan suatu keadaan dimana debitur ksesulitan keuangan untuk membayar utang yang pengurusannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim.
  2. Berbeda dengan badan usaha umum lainnya, bank merupakan badan usaha yang memiliki karakteristik khusus dalam proses likuidasi. Penyelesaian Bank yang bermasalah melalui upaya kepailitan tidak dilakukan oleh bank Indonesia dan tidak perlu ditempuh melalui jalur Undang-Undang Kepailitan.
  3. Mengenai kepilitan yang menimpa institusi syari’ah seperti perbankan syari’ah, maka berlaku kebebasan berkontrak. Konsekuensi yuridis dari sistem ini adalah bahwa para pihak dalam rangka menyelesaiakan sengketa memiliki kebebasan dalam memilih hukum (choice of law) dan kebebasan dalam memilih forum (choice of forum). Namun demikian, Pada prinsipnya sepanjang tidak diperjanjikan lain, kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah termasuk kepailitan khususnya perbankan syari’ah menjadi kewenangan mutlak Peradilan Agama. PeradilanUmum  baru memiliki kewenangan sepanjang para pihak memperjanjikannya dalam akad yang mereka buat.
  4. Hikmah yang dapat diambil adanya kebebasan choice of law dan choice of forum  adalah bahwa substansi dan nilai-nilai Islam akan mewarnai proses penyelesaian sengketa, dimanapun para pihak memilih forumnya. Dengan kata lain hakim-hakim di Peradilan Umum pun secara logis akan berusaha untuk mempelajari dan menerapkan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi
  5. Adapun mengenai proses dalam aturan kepailitan,dikarenakan debitur tidak diperbolehkan melakukan perbuatan hukum atas sisa hartanya, maka penyelesaian utang piutang diawasi oleh kurator, dalam Islam, kondisi demikian dinamakan dengan al-h}ajr, yakni pengampuan atau pencegahan tehadap debitur. Pencegahan tindakan hukum terhadap debitur tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepastian bahwa utangnya kepada kreditur bisa terbayar sesuai dengan hak masing-masing oleh kurator.
  6. Berkaitan dengan masalah pembayaran utang, Islam mengajarkan bahwa bagi debitur yang mempunyai utang kepada beberapa kreditur harus melunasi utangnya sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan. Utang adalah tetap utang dan wajib dilunasi sesuai janji antar pihak yang bertransaksi. Menurut Islam utang finansial marupakan haqq al-adami> (hak manusia) yang dalam kondisi apapun harus dilunasi. persoalan pokok utang-piutang tetap harus diselesaiakan secara hukum meski salah satu pihak meninggal dunia yakni melalui ahli warisnya.
  7. Namun demikian, berbeda jika debitur dalam kondisi kesulitan, Islam menawarkan beberapa solusi antara lain:pertama, penangguhan pembayaran utang. Dalam konteksnya perlu diadakannya penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang antara debitur dan pihak kreditur. Kedua, Peringanan pembayaran utang sesuai dengan kemampuan debitur. Ketiga, Pembebasan seluruh utang. Dalam kondisi dimana debitur benar-benar mengalami kesulitan tidak mampu untuk membayar utang.













Daftar Pustaka

Anisah, Siti, “Hukum Kepailitan Islam dengan Hukum Kepailitan Amerika Serikat Sebuah Perbandingan” dalam Jurnal Media Hukum, Volume 15, No 2. (Desember: 2008).
Anshori, Abdul Ghafur, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah : Analisis Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2010.
Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembyaran di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Bassam, Abdullah bin Abdurrahman al-, Syarah Bulu>ghul Mara>m, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Bugha, Mustahafa Dib al-, Buku Pintar Transaksi Syari’ah, alih bahasa Fakhri Ghafur, Jakarta: Hikmah, 2009.
Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis:Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah, Malang:UIN Malang Press, 2009.
Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2007.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fikih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Http://alhushein.blogspot.com/2012/01/hukum-kepailitan-tafli>s -dalam-Islam.html
Http://kurniatikhalil.blogspot.com/2012/04/al-qard-pinjaman-dalam-Islam.html, diakses pada tanggal 18 Januari 2013.
Kahlani,  Muhammad bin Ismail al-, Subul as- Sala>m, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III.
Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang,Yogyakarta: FH UII Press, 2006.
Khairandy, Ridwan, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2002.
Majid AS, Abd.  Utang Luar Negeri dalam Perspektif al-Qur’an, dalam Jurnal As-Syir’ah No.7 Th. 2000,  (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2000)
Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009.
Silondae, Arus Akbar, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Sutedi, Adrian, Hukum Perbankan: suatu Tinjauan Pencucian Uang, marger, Likuidasi dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.




[1]M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2009),  hlm.4.
[2] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis:Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syari’ah, (Malang:UIN Malang Press, 2009), hlm. 381.
[3] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan......,hlm.1.
[4] Ibid.,hlm.4.
[5] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2007), hlm.22.
[6] Ridwan Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2002), hlm. 94.
[7] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan,......hlm. 3.
[8] Ibid., hlm.5.
[9] Ibid., hlm. 7-9
[10] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembyaran di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 34.
[11] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:Prisip Norma dan Praktik di Peradilan,......hlm.2.
[12] Ibid., hlm. 15-16.
[13] Arus Akbar Silondae, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, (Jakarta:Salemba Empat, 2011), hlm.62.
[14] Ibid., hlm. 61-62.
[15] Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, (Yogyakarta:FH UII Press, 2006), hlm. 268.
[16]Ibid., hlm. 65-66.
[17]Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang .......,hlm. 275.
[18] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: suatu Tinjauan Pencucian Uang, marger, Likuidasi dan Kepailitan.(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 131.
[19] Ardien Sutedi, Hukum Perbankan......., hlm. 134.
[20] Ibid.
[21] Ibid., 135.
[22] Ibid., hlm. 175.
[23] Ibid., hlm.178-179.
[24] Abdul Ghafur Ansori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah: Analisis Konsep dan UU No.2 tahun 2008, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm 97.
[25] Ibid., hlm 98.
[26] Lihat penjelasan pasal 52 ayat (2) No 21 thaun 2008.
[27] Abdul Ghofur Ansori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah........,hlm. 2-3.
[28]Ibid., hlm. 108.
[29]Ibid., hlm. 109.
[30] Ibid.,112.
[31] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam :Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.195.
[32] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis........,hlm. 381.
[33] Ibid., hlm. 388.
[34] Siti Anisah, “Hukum Kepailitan Islam dan Hukum Kepailitan Amerika Serikat  Sebuah kajian Perbandingan” dalam Jurnal Media Hukum Volume .2 No.15 (Desember:2008), hlm.245.
[36] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis....., hlm. 391.
[37] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam......,hlm.208.
[38] Ibid., hlm. 216.
[39] Dikutip dari Majid AS, Abd.  Utang Luar Negeri dalam Perspektif al-Qur’an, dalam Jurnal As-Syir’ah No.7 Th. 2000,  (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2000) dalam http://kurniatikhalil.blogspot.com/2012/04/al-qard-pinjaman-dalam-Islam.html, diakses pada tanggal 18 Januari 2013.
[40] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis......,hlm. 395.
[41] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as- Sala>m, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III:48.
[42] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis.....,hlm. 404
[43] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as-Sala>m, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III:53.