PENDAHULUAN
Tanah
atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Ajaran Islam
menganjurkan apabila seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia
harus memanfaatkannya dan mengolahnya. Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam
seperti halnya dengan cara diolah sendiri oleh yang punya atau dengan cara
dipinjamkan kepada orang lain untuk digarap dengan menggunakan bagi hasil dalam
sistem muza>ra’ah.[1]
Sebagai
suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses
dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa
ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh
kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas bagi hasil tersebut tersebut.
Dari
latar belakang di atas Islam mempunyai solusi pemanfaatkan lahan pertanian
dengan sistem yang lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah
pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muza>ra’ah
yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam. Oleh karena itu,
pembahasan makalah kali ini adalah berkisar tentang konsep dan aplikasi muza>ra’ah
dalam ekonomi pertanian Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muza>ra’ah
Muza>ra’ah
memiliki arti
suatu kerjasama dalam bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan penggarap
tanah.[2]
Kata muza>ra’ah
berasal dari
wazan mufa>’alah
dari akar kata zara’a
yang sinonimnya:anbata, seperti dalam kalimat
زرع
الله الزرع : أنبته ونماه
“Allah menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan:artinya Allah menumbuhkannya dan mengembangkannya.”[3]
Dalam
pengertian istilah, muza>ra’ah
adalah suatu
cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama
antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di
antara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah)
yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan)[4],
sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja
sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini
disebut dengan mukha>barah.[5]
Menurut Abdurrahaman Isa, sebagaimana dikutip oleh Masjpuk Zuhdi, mengenai hak
dan kewajiban masing-masing dari pemilik lahan dan penggarap tanah bisa diatur
sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat baik menurut adat istiadat
setempat maupun menurut perundang-undangan yang berlaku.[6]
Selain
definisi di atas, pengertian muza>ra’ah secara termonologi terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan oleh ulama fikih, antara lain:
§ Ulama Malikiyah
ألشركة فى الزرع
“Perserikatan
dalam pertanian”
§ Ulama Hanabilah
دفع
الأرض
الى من يزرعهاأويعمل عليهاوالزرع بينهما
“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua”
§ Ulama Syafi’i
عمل
الأرض
ببعض ما يخرج منهاوالبذر من الما لك
“Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,
sedangkan bibit disediakan pemilik tanah”[7]
Dari
beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa muza>ra’ah adalah suatu akad
kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan
lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja atau petani untuk diolah,
sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama,
seperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu. Hanya saja dalam definisi muza>ra’ah
di atas ulama
Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah,
apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap maka istilahnya bukan muza>ra’ah
melainkan mukha>barah.
[8]
B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukha>barah
dan Musa>qat
a)
Muza>ra’ah
Bentuk
kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil
yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman berasal
dari pemilik tanah.
b)
Mukha>barah
Mukhabarah
ialah bentuk kerja sama anata pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian
bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya menurut kesepakatan bersama,
sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.[9]
c)
Musa>qat
Bentuk
kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun
itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian
hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Kerjasama dalam bentuk musa>qat ini berbeda dengan mengupah
tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah
yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu. [10]
Perbedaan tersebut dapat disimpulkan, yaitu:
a. Muza>ra’ah
:benih dari
pemilik lahan
b. Mukha>baroh :benih dari penggarap
c. Musa>qat :perawatan tanaman atau pepohonan
Dari
penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak perbedaan antara muza>ra’ah
dan mukha>barah
adalah dari sisi asal benih, sedangkan musa>qat
adalah kerjasama dalam pemeliharaan dan perawatan pepohonan dalam sebidang
kebun.
C. Dasar Hukum Muza>ra’ah
Dasar hukum yang
digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muza>ra’ah
adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
إن نبي صلى لله عليه وسلم لم يحرم الزارعة
ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كا نت له أرض فليزرعها أو ليمنحها اخاه فإن
ابى فليمسك ازضه
“Sesungguhnya nabi saw menytakan tidak mengharamkan bermuzara’ah
bahkan beliau mneyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain,
dengan katanya, barang siapa yang memiliki yanah maka hendaklah ditanaminya
atau memberikan faedahnyakepada saudarnya jika ia tidak mau, maka boleh ditahan
saja tanah itu”[11]
Dalam membahas
hukum muza>ra’ah
para pakar
fikih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Beberapa
ulama yang memperbolehkannya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik,
Ahmad serta Dawud Az-Zhahiri didasarkan pada hadis Nabi berikut.
عنِ ابنِ عمر
رضي الله عنهما أَنَ رسول الله عليه وسلَم عا مل أهل خيبر بِشطر ما يخرج منها من
ثمر أَوزرع.
Dari Ibnu Umar bahwa
Rasullullah melakukan kerja sama (penggarapan tanah) dengan penduduk Khaibar
dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik
buah-buahan maupun tanaman. (Muttafaq ‘alaih)
Mereka yang memperbolehkan akad muza>ra’ah berdasarkan pendapat bahwa muza>ra’ah merupakan akad syirkah antara modal (tanah) dan pekerjaan
sebagaimana akad mud}arabah yang
hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak (dibutuhkan).
Akad muza>ra’ah tersebut diperbolehkan sebagaimana akad ija>rah dari segi
kerjasama dalam hal penggarapan tanah. Adapun upah dari muza>ra’ah adalah ditentukan dari hasil pengelolaan tanah
tersebut.[12]
Sedangkan
Imam Abu
Hanifah dan Zufar, serta Imam asy-Syafi’i tidak membolehkannya.[13]
Hal ini didasari oleh hadis Nabi.
وعن ثَابِت بنِ الضحاك رضي الله عنه أَنَ رسول الله صلَى الله عليه وسلم نهى عنِ
الْمزارعة وَأَمر بِا لْمؤاجر
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang
untuk melakukan muza>ra’ah, dan
memerintahkan untuk melakukan mua>jarah (sewa-menyewa). (HR. Muslim)
Obyek akad dalam muza>ra’ah dinilai memiliki dimensi spekulatif yang tidak
jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen
yang belum ada (ma’du>m) dan tidak
jelas (jaha>lah) ukurannya,
sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan
si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi
untuk terjadinya kerugian. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan
akad muza>ra’ah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan
bahwa perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar, bukanlah muza>ra’ah , melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu
ketentuan pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah Saw setiap kali panen
dalam presentase tertentu.
Adapun menurut
jumhur ulama fikih hukum muza>ra’ah adalah
diperbolehkan. Dasar kebolehannya secara khusus merujuk pada hadis Nabi dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:
عن ا بنِ عمررضي الله عنه
أَن رسول
الله صلى الله عليه وسلم عامل أهل خيبربشرط مايخرج منها من زرع أوثمر
“Bahwasanya rasulullah memperkerjakan penduduk khaibar dalam
pertanian dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk
tanaman atau buah-buahan”.(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).[14]
Selain itu dalam kitab Subul as-Sala>m dijelaskan
bahwa larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi dan para
sahabatnya hijrah ke Madinah, merekapun sangat membutuhkan pekerjaan tersebut
dan sangat bermanfaat untuk kebelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu,
hadis tentang larangan muza>ra’ah tersebut memiliki batasan, yakni jika dalam
perjanjianya terdapat peraturan yang menekan salah satu pihak, sehingga
memberatkannya.[15]
Akad muza>ra’ah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ija>rah. Muza>ra’ah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat pembagian
penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan tanah
seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Muza>ra’ah juga menyerupai akad ija>rah dan upahnya adalah bagian yang telah
ditentukan dari yang dihasilkan.[16]
Adapun bentuk muza>ra’ah yang
diharamkan oleh Islam menurut al-Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Hala>l wa al-Hara>m adalah muza>raah yang didalamnya terdapat unsur
penipuan dan ketidak jelasan yang membawa kepada perselisihan. Para pemilik
lahan mensyaratkan agar ia mendapat hasil bagian pada lahan tertentu dan hasil
pada bagian lahan yang lainnya untuk petani penggarap.
Pada praktik tersebut terdapat unsur
penipuan dan ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan
untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada yang
dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa kepada perselisihan
antara keduanya.[17] Misalnya,
dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia
berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh
tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 700 m tertentu.
Cara seperti ini adalah cara muza>ra’ah yang diharamkan. Inti larangannya
ada pada masalah gharar. Sebab
boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan
yang 300 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen
di lahan yang 700 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar
adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu
baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Oleh karena itu seharusnya
masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu
perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah
pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan
mendapat sedikit pula. Apabila sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka
kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara tersebut merupakan pembagian yang
lebih adil untuk kedua belah pihak.
Dengan demikian
kita dapati bahwa pendapat jumhur ulama (Malikiyah, Hanabilah dan Zhahiriyah)
adalah pendapat yang lebih kuat, yaitu hukum bolehnya akad muza>ra’ah
ini. Hal itu dikarenakan akad muza>ra’ah
ini sejalan
dengan prinsip-prinsip syari’ah dan maqa>s}idnya. Akad ini bertujuan untuk saling
membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan para pemilik
lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan ketentuan hasilnya mereka bagi
dengan sesuai dengan kesepakatan bersama.
D. Rukun dan Syarat Muza>ra’ah
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Rukun
muza>ra’ah
menurut ulama
Hanafiyah hanya berupa i>ja>b (ungkapan penyerahan lahan dari
pemilik lahan) dan qabu>l (pernyataan
menerima lahan untuk diolah dari petani) yang keduanya harus diucapakan secara
jelas.
2. Menurut Ulama Hanabilah
Adapun
ulama Hanabilah tidak mensyaratkan adanya qabu>l. secara lafadz,
namun cukup dengan suatu tindakan saja yang menunjukkan adanya qabu>l.
Dengan demikian qabu>lnya
hanya berupa perbuatan dari penggarap.[18]
Adapun
jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah mengemukakan beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muza>ra’ah
menurut
mereka adalah:
a) Pemilik lahan
b) Petani penggarap
c) Objek muza>ra’ah
yaitu
antara manfaat dan hasil kerja petani. Apabila bibit berasal dari petani maka
objeknya adalah manfaat lahan dan apabila bibit berasal dari pemilik lahan maka
objeknya adalah hasil kerja petani.[19]
d) I>ja>b
dan qab>ul.
Namun dalam hal ini, ulama mazhab Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan (qabu>l)
akad muza>ra’ah
tidak perlu
dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung
mengolah lahan tersebut.[20]
Menururt
Hanafiah akad muza>ra’ah
adalah sama
dengan akad syirkah lainnya, yakni termasuk akad yang ghairu la>zim
(tidak mengikat). Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit,
maka akad menjadi la>zim (mengikat). Akan
tetapi menurut pendapat yang kuat di kalangan Malikiyah, semua syirkah amwa>l
hukumnya la>zim
dengan telah terjadinya I>>ja>b
qabu>l. Sedangkan
menurut Hanabilah muza>ra’ah
dan musa>qah
merupakan akad yang ghairu
la>zim yang bisa dibatalkan oleh masing-masing
pihak dan akad menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak. [21]
Adapun
penjelesan mengenai syarat muza>ra’ah, secara singkat Ali
‘Abd ar-Rasul menjelaskan dalam karyanya al-Maba>di’ al-Iqtis}a>di> fi
al-Isla>m, bahwa syarat sah muza>ra’ah
ada delapan,
antara lain:[22]
Adanya
dua pihak yang berakad
1. Adanya lahan yang subur untuk pertania
2. Jelasnya asal benih
3. Jelasnya bagian orang yang tidak membawa
benih
4. Pemilik lahan tidak ikut campur dalam
pengelolaan tanah tersebut (pengelolaan doserahkan sepenuhnya pada penggarap)
5. Jelasnya jenis benih yang akan ditanam
6. Ketentuan bagian dari hasil pengelolaan
lahan
Sedangkan
syarat-syarat muza>ra’ah
menurut
jumhur ulama adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang yang
akan ditanam, lahan yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang
menyangkut jangka waktu berlakunya akad. [23]
1. Untuk orang yang melakukan akad
disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan berakal, karena
kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak
hukum. Pendapat lain dari kalangan ulama mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah
seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan orang yang
murtad dianggap mauqu>f
(tidak punya efek hukum sampai ia masuk Islam kembali). Akan tetapi Abu
Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan
tersebut, karena akad muza>ra’ah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan
ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang
ditanam tersebut jelas dan akan menghasilkan.
3. Adapun syarat yang menyangkut lahan
pertanian adalah:
a) Menurut adat dikalangan para petani,
lahan tersebut bisa diolah dan menghasilkan. Jika lahan tersebut adalah lahan
yang tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, sehingga tidak
memungkinkan dijadikan lahan pertanian, maka
akad muza>ra’ah
tidak sah.
b) Batas-batas
lahan itu jelas.
c) Lahan
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik lahan ikut mengolah pertanian itu, maka akad muza>ra’ah
tidak sah.
4. Adapun syarat-syarat yang menyangkut
dengan hasil panen adalah :
a) Pembagian hasil panen bagi masing-masing
pihak harus jelas.
b) Hasil itu benar-benar milik bersama
orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar.
c) Pembagian hasil panen itu ditentukan
pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya
d) Hasil tanaman harus berupa bagian yang
belum dibagi di antara orang-orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan
bahwa bagian tetentu diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.[24]
E. Bentuk-Bentuk Akad Muza>ra’ah
Abu
Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari segi sah
atau tidaknya akad muza>ra’ah
. Maka ada empat bentuk muza>ra’ah
tersebut,
yaitu:
1. Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari
petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah
jasa petani, maka hukumnya sah.
2. Apabila pemilik lahan hanya menyediakan
lahan, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi
objek muza>ra’ah
adalah
manfaat lahan, maka akad muza>ra’ah juga sah.
3. Apabila lahan, alat, bibit, dari pemilik
lahan dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah
adalah jasa petani, maka akad muza>ra’ah juga sah.
4. Apabila lahan pertanian dan alat
disediakan pemilik lahan sedangkan bibit dan kerja dari petani maka akad ini
tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat akad ini jadi
rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikut pada lahan. Menurut mereka,
manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan
adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat
hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian menurut mereka harus mengikut pada petani penggarap bukan kepada
pemilik lahan.
F.
Akibat
Akad Muza>ra’ah
Menurut
jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah ,
apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya
adalah: [25]
1. Petani (penggarap) bertanggung jawab
mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut.
2. Biaya pertanian seperti biaya pupuk,
penuaian serta pembersihan tanaman ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai
dengan persentase bagian masing-masing.
3. Hasil panen dibagi sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak
4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak . apabila tidak ada kesepakatan maka berlaku
kebiasaan di tempat masing-masing.
5. Apabila salah satu pihak meninggal dunia
sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal
diwakili oleh ahli warisnya.
Menurut
Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muza>ra’ah yang fasid
atau tidak tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan diatas, antara
lain:[26]
1. Tidak ada kewajiban apapun bagi muzari’
(penggarap) dari pekerjaan muza>ra’ah karena akadnya
tidak sah.
2. Hasil yang diperoleh dari tanah garapan
semuanya untuk pemilik benih, baik pemilik tanah mauun penggarap. Dalam hal ini
malikiyah dan Hanabilah sepakat dnegan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akdnya fasid
maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
3. Apabila benihnya dari pihak pemilik
tanah maka pengelola memperoleh upah atas pekerjaannya, karena fasidnya akad muza>ra’ah
tersebut. Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah berhak
memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam dua kasus ini status akadnya
menjadi sewa-menyewa.
4. Dalam muza>ra’ah
yang fasid,
apabila muza>ri’
telah menggarap tanah tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujrah al-mis|li),
meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena muza>ra’ah statusnya
sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun dalam muza>ra’ah yang
shahih,
apabila tanah garapan tidak menghasilkan apa-apa, maka muza>ri’
dan pemilik tanah sama sekali tidak mendapatkan apa-apa.
5. Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf,
upah yang sepadan dalam muza>ra’ah yang fasid
harus ditetapkan dengan jumlah yang disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua
belah pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus
dibayar penuh, karena ia merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah
dipenuhi oleh penggarap.
Dalam
KHES pasal 256-265 dijelaskan beberapa peraturan berkaitan pelaksanaan akad muza>ra’ah
, yakni:
- Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan menggarap.
- Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang diterimanya.
- Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.
- Akad muza>ra’ah dapat dilakukan secara mutlak dan atau terbatas.
- Jenis benih yang akan ditanam dalam muza>ra’ah terbatas harus dinyatakan secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap.
- Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam dalam akad muza>ra’ah yang mutlak.
- Penggarap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
- Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muza>ra’ah mutlak.
- Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
- Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muza>ra’ah , dapat mengakibatkan batalnya akad itu.
- Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan pelanggaran sebagaimana dalam huruf (10) menjadi milik pemilik lahan.
- Dalam hal terjadi keadaan seperti pada ayat (11), pemilik lahan dianjurkan untuk memberi imbalan atas kerja yang telah dilakukan penggarap.
- Penggarap berhak melanjutkan akad muza>ra’ah jika tanamannya belum layak dipanen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.
- Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerjasama muza>ra’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
- Hak menggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen.
- Ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad muza>ra’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal.
- Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di Indonesia
Pada dasarnya, baik muza>ra’ah, mukha>barah
dan musa>qat
adalah konsep kerja sama bagi hasil
dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap.
Dalam praktiknya, sebenarnya muza>ra’ah sudah menjadi
tradisi masyarakat petani di pedesaan yang dikenal istilah bagi hasil. Khususnya
di tanah Jawa, praktik ini biasa disebut dengan maro, mertelu dan mrapat. [28]
Penerapan sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat pedesaan yang
hidupnya mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan membentuk kerjasama
antara pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari rasa persaudaraan
antara kedua belah pihak, dan juga sangat membantu mereka yang memiliki lahan
tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki
lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah
sebagian dari hasil yang diperoleh.[29]
Perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal
yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah
pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam
undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam
keentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa:
”Perjanjian
bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara
pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain, yang
dalam undang-undang ini disebut “penggarap” berdasrkan perjanjian mana penggerap
diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggrakan usaha pertanian di
atas pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”
Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya
undang-undnag ini sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum poin 3
disebutkan:
- Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan oenggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
- Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersdia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
- Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan rakyat”.
I.
Operasional
Akad Muza>ra’ah
di
Lembaga Perbankan Syari’ah
Sektor pertanian (agribisnis) yang merupakan basis
pertumbuhan ekonomi pedesaan, sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan
petani dan mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, sampai saat ini para petani
masih dihadapkan pada kesulitan pembiayaan untuk pengembangan usahanya. kurangnya
keberpihakan perbankan syariah pada sektor pertanian indikasinya jelas, bahwa
pembiayaan bank syariah dalam sektor pertanian masih sangat minim. Begitu
banyaknya skim-skim bank syariah yang beroperasi saat ini, namun faktanya
pembiayaan bank syariah dalam sektor ini masih sangat sedikit dibanding dengan
sektor lainnya. Dengan kata lain, sektor
pertanian masih dipandang sebelah mata oleh perbankan syariah saat ini
Hal ini dikarenakan dari sudut pandang perbankan
sendiri sektor pertanian kurang menarik untuk berinvestasi. Karakteristik
kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi
maupun jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan
dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Selain itu, minimnya pembiayaan
disektor ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi perbankan, sebab
pembayaran terhadap pembiayaan yang diberikan tidak secepat pembiayaan dalam
sektor perdagangan. Jika pada sektor perdagangan intensitas hasil dapat
dihitung dalam waktu yang relatif singkat, bisa per-bulan, per-minggu bahkan
per-hari. Berbeda dengan pembiayaan pertanian yang menunggu waktu yang relatif
lama, empat atau enam bulan.
Dalam khazanah hukum bisnis syariah, hukum
Islam telah memberikan aturan khusus bagi penerapan kontrak kerjasama
pengolahan lahan tersebut dengan cara khusus sebagaimana dalam akad muza>ra’ah..
Secara teknis, kontrak muza>ra‘ah tidak berbeda jauh
dengan kontrak mudharabah.
Hanya saja muza>ra‘ah
berarti khusus untuk pengolahan lahan pertanian sebagai pengganti dari produksi
yang diatur oleh suatu aturan tertentu. Oleh karena itu, teknis pengaplikasian
sistem ini dalam perbankan syariah hampir sama dengan sistem pembiayaan mudharabah.
Kondisi ini terjadi disebabkan
terdegradasinya visi ekonomi syariah pada perbankan syariah, disamping
ketidakmampuan perbankan syariah untuk menggali dan mendinamisasi konsep
agribisnis syariah secara praktis di lapangan. Dengan demikian, menjadikan bank
syariah sebagai bank yang hanya berorientasi profit minded tanpa
memperhatikan kesejahteraan merata akan mereduksi makna kesyariahan, lebih dari
itu akan mencederai ekonomi syariah itu sendiri.
Lebih penting dari itu, bahwa sudah
saatnya umat Islam menggali sistem ekonomi Islam dalam bidang agribisnis yang
teruji secara konsep dan praktis. Belum maksimalnya pemberdayaan ekonomi di
bidang pertanian menunjukkan bahwa terjadi kesalahan dalam melihat konsep
pertanian negeri ini. Adagium ibarat “petani mati di lumbung” menandakan
terjadi kesalahan besar manajemen pertanian di Indonesia. Tentu pembahasan
konsep ini harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sistem pertanian,
manajemen pertanian hingga tata kelola swasta dan negara dalam bidang
pertanian.[30]
J. Zakat Muza>ra’ah
Zakat
hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, maka
dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang
menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Adapun dalam
mukhabarah yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya
yang menanam, sedangkan pemilik tanag seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika
benih berasal dari keduanya maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah
senisab sebelum pendapatn dibagi dua.
Menurut
Yusuf Qaradhawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang
lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan
perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing
bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang
seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian yang cukup
senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam
Syafi’i berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang yang oleh karena itu
wajib secara bersamaan menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasq,
masing-masing mengeluarkan 10% darpi bagiannya.[31]
K. Implikasi dari
Penerapan Akad Muzara>’ah
Apabila praktik muzara’ah dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah dikemukakan diatas, maka secara riel diterapkannya bagi hasil dengan
menggunakan akad muza>ra’ah akan berdampak pada sektor pertumbuhan sosial
ekonomi, seperti saling tolong menolong dimana antara pemilik tanah dan yang
menggarapnya saling diuntungkan serta menimbulkan adanya rasa keadilan dan
keseimbangan[32].
Lebih lanjut hikmah yang terkandung dalam muza>ra’ah adalah:
- Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
- Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
- Dapat mengurangi pengangguran.
- Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
- Dapat mendorong pengembangan sektor riel yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.
Muzara’ah terkadang berakhir
karena telah terwujudnya maksud dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai
dipanen. Akan tetapi terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum
terwujudnya tujuan muzara’ah
karena sebab-sebab berikut:
1. Jangka waktu yang disepakati berakhir,
akan tetapi apabila jangka waktu sudah habis sedangkan hasil penen belum layak
panen maka akad tersebut tidak dibatalkan sampai panen tiba, dan hasilnya
dibagi sesuai kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam waktu
menunggu panen tersebut, menurut jumhur ulama petani berhak mendapatkan upah
sesuai dengan upah minimum yang berlaku bagi petani setempat. Selanjutnya,
dalam masa menunggu masa panen tersebut biaya tanaman seperti pupuk, biaya pemeliharaan,
dan pengairan merupkana tanggung jawab bersama pemilik lahan dan petani sesuai
persentase pembagian masing-masing.
2. Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab
Hanabila, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad muza>ra’ah
berkahir, karena mereka berpendapat bahwa akad muza>ra’ah
tidak dapat
diwariskan. Akan tetapi ulama mazhab Maliki dan mazhab Syaafi’i berpendaat
bahwa akad muza>ra’ah
dapat
diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berkahir dengan wafatnya salah satu
pihak yaang berakad.
3. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari
pemilik lahan maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa
melanjutkan akad muza>ra’ah
tersebut.
Uzur yang dimaksud antara lain adalah:
a) Pemilik lahan terbelit hutang, sehngga
lahan pertanian tersebut harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat
me;unasi hutang tersebut. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur
tangan hakim. Akan tetapi apabila tumbuh-tumbuhan tersebut telah berbuah,
tetapi belum layak panen, maka lahan tersebut boleh dijual sebelum panen.
b) Adanya uzur petani, seperti sakit atau
harus melakukan perjalanan ke luar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan
untuk bisa sembuh sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa muza>ra’ah merupakan akad kerjasama antara pemilik tanah
pertanian dan penggarap (petani) dengan cara pemilik tanah menyerahkan tanahnya
berikut dengan benihnya kepada pihak penggarap untuk diolah yang hasilnya
dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.Muza>ra’ah
menurut jumhur ulama hukumnya diperbolehkan, karena muza>ra’ah
adalah termasuk akad kerjasama antara modal dengan
pekerjaan seperti halnya mudharabah.
Pada hakikatnya muza>ra’ah
merupakan salah satu dari bentuk kerjasama bagi hasil dalam bidang pertanian.
Adapun perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu
hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah
pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam
undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian
Akad muza>ra’ah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ija>rah. Muza>ra’ah menyerupai
akad syirkah dalam
bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi
pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat
untuk penggarap. Muza>ra’ah juga menyerupai akad ija>rah
dan upahnya adalah bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan.
Namun demikian terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan
dalam praktik muzara’ah
agar akad tersebut
menjadi akad yang sah.
Jika merujuk
dari karakter sistem muza>ra’ah, terdapat beberapa
hikmah dan keuntungan yang dapat diambil dalam pemberlakuan akad tersebut,
antara lain terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat,
tertanggulanginya kemiskinan, terbukanya lapangan pekerjaan terutama bagi
petani yang memiliki kemampuan bertani.
Namun demikian, menurut
hemat penulis sistem muza>ra'ah ini jarang
sekali diaplikasikan dalam dunia perbankan, karena karakteristik
kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun
jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam
mendanai pembiayaan disektor ini. Oleh karena itu diperlukan adanya pembedahan
konsep teorotis ke dalam konsep aplikatif, sehingga akad muza>ra’ah
mudah diberlakukan dalam membangun
kerjasama antara sektor agribisnis dan sektor perbankan. Wallahu a’lam bi as-s}awab
Daftar Pustaka
---------,Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009.
Anshori, Abdul
Ghafur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan
Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2010.
Anwar, Moh.,
Fiqih Islam:Mua>’amalah, Muna>kahat, fara>id dan
Jina>yah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta
Kaidah-Kaidah Hukumnya, Bandung:al-Ma’arif, 1988.
Dahlan,Abdul
Azizi et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.
Ghazali, Abdul
Rahman dkk, Fiqh Muamalat, Cet. ke-1, Jakarta:Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Haroen, Nasroen,
Fiqh Mu’amalah, Cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama,2007.
Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2012.
Muslich, Ahmad
Wardi, Fiqih Muamalat, Jakarta:Mizan, 2010.
Nabhani,
Taqiyuddin an-, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Cet.ke-9,
Surabaya: Risalah Gusti, 2009.
Pasaribu,
Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta:Sinar
Grafika,1996.
Qaradlawi, Yusuf
al-, al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, cet
ke-13, Beirut:al-Maktab al-Isla>m,1980.
Rahman, Afzalur,
Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin,
Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf Prima Yasa, 1995.
Rasul, Ali Abd
ar-, al-Maba>di’ al-Iqtis}a>d fi
al-Isla>m,
Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980.
Sahrani, Sohari
dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Suhendi, Hendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Syariffudin,
Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor:Kencana, 2003.
Thayyar, Abullah
bin Muhammad ath-, Ensiklopedia Fikih Muamalah dalam pandangan 4 Mazhab,
alih bahasa Miftahul Khairi, Yogyakarta:Maktabah al-Hanif, 2009.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 5,
(Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989
Zuhaili, Wahbah,
al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6,
Cet ke-4, Damaskus: Da>r al-Fikr,
2004
Zuhdi, Masjfuk, Masa<il Fiqhiyah,
Cet.ke-10, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.
http://akafapendidikan.blogspot.com/2012/01/pengertianmuzaraah.html?zx=f0e50e52bab9b74a.
Diakses pada tanggal 12-01-2013.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=121746:kedudukanpertaniandalamekonomisyariah&catid=33&Itemid=98.
Diakses tanggal 12-01-2013.
[1]Yusuf al-Qaradlawi, al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, Cet.ke-13,
(Beirut:al-Maktab al-Isla>m,1980), hlm. 267-278.
[2]Abdul Rahman Ghazali dkk,
Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet.ke-1,
hlm.114.
[3]Ahmad Wardi Muslich,
Fiqih Muamalat, (Jakarta: Mizan, 2010), hlm. 391.
[5] Abdul Rahman Gazali dkk,
Fiqih Muamalat........, hlm. 115.
[7]Nasroen Haroen, Fiqih
Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. ke-2, hlm. 275.
[8]Ahmad Wardi Muslich,
Fiqih Muamalat......, hlm.394.
[9]Abdul Rahman Ghazali, Fiqih
Muamalat......, hlm.117.
[10]Amir Syariffudin, Garis-Garis
Besar Fiqih, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 243.
[11] Sohari Sahrani dan Ruf’ah
Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 215.
[12]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6, Cet.ke-4, (Damaskus:Da>r al-Fikr,
2004), hlm. 4685.
[14]Abdul Rahman Ghazali dkk,
Fiqh Muamalat......, hlm.115.
[15]Moh.Anwar, Fiqih Islam:Mua>’amalah, Muna>kah}at,
fara>id dan Jina>yah
(Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, (Bandung: al-Ma’arif,
1988), hlm. 78-79.
[19]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, cet. ke-3, (Damaskus:Da>r al-Fikr,1989), hlm.615.
[20]Abdul Aziz Dahlan, et.al,
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1273.
[22]Ali Abd ar-Rasul, al-Maba>di’ al-Iqtis{a>di> fi al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1980), hlm.29-30.
[23]Abdul Aziz Dahlan, et.al,
Ensiklopedi Hukum Islam......, hlm.1273.
[25] Abdul Aziz Dahlan et.al,
Ensiklopedi Hukum Islam......, hlm.1274.
[26]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Mu’amalat....., hlm.402-403. Baca penjelasan lebih rinci dalam Wahbah
Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,
Juz 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm.625-626.
[27] Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.76-79.
[28]http://akafapendidikan.blogspot.com/2012/01/pengertianmuzaraah.html?zx=f0e50e52bab9b74a. Diakses
pada tanggal 12 Januari 2013.
[29]Chairuman Pasaribu dan
Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta:Sinar
Grafika,1996), hlm. 61.
[30]http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=121746:kedudukan-pertanian-dalam-ekonomisyariah&catid=33&Itemid=98,diakses
pada tanggal 12 Januari 2013.
[31] Abdul Rahman Ghazali
dkk, Fiqih Muamalat......hlm.119.
[32] Sohari sahrani dan
Ruf’ah Abdullah, Fikih Mu’amalah.......,hlm. 218.
[33]Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi
Hukum Islam......, hlm.1274. Baca: Wahbah Zuhaily, al-Fiqh
al-Isla>m wa Adillatuhu......, hlm. 4700-4702.
wah, keren lengkap dengan dalilnya.
BalasHapusyang butuh info pertanian, saya rekomendasikan jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia, adalah blog baru yang cukup bagus menyediakan referensi seputar pertanian, sesuai dengan namanya jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia memang tidak hanya membahas teori saja, namun infonya juga bersifat aplikatif, karena itulah banyak orang yang mengunjunginya DISINI>> jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia
yang mencari info tentang nama latin tumbuhan juga ada, silakan klik DISINI>> nama ilmiah tumbuhan
info ini juga dipersembahkan oleh minuman berenergi