Jumat, 01 Maret 2013

Konsep dan Aplikasi Muzara'ah dalam Perekonomian Pertanian Islam


PENDAHULUAN
Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Ajaran Islam menganjurkan apabila seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia harus memanfaatkannya dan mengolahnya. Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk digarap dengan menggunakan bagi hasil dalam sistem muza>ra’ah.[1]
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas  bagi hasil tersebut tersebut.
Dari latar belakang di atas Islam mempunyai solusi pemanfaatkan lahan pertanian dengan sistem yang lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muza>ra’ah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam. Oleh karena itu, pembahasan makalah kali ini adalah berkisar tentang konsep dan aplikasi muza>ra’ah dalam ekonomi pertanian Islam.

PEMBAHASAN
A.      Pengertian Muza>ra’ah
Muza>ra’ah  memiliki arti suatu kerjasama dalam bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan penggarap tanah.[2] Kata muza>ra’ah  berasal dari wazan mufa>’alah dari akar kata zara’a yang sinonimnya:anbata, seperti dalam kalimat
زرع الله الزرع : أنبته ونماه
Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan:artinya Allah menumbuhkannya dan mengembangkannya.”[3]

Dalam pengertian istilah, muza>ra’ah  adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan)[4], sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut dengan mukha>barah.[5] Menurut Abdurrahaman Isa, sebagaimana dikutip oleh Masjpuk Zuhdi, mengenai hak dan kewajiban masing-masing dari pemilik lahan dan penggarap tanah bisa diatur sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat baik menurut adat istiadat setempat maupun menurut perundang-undangan yang berlaku.[6]
Selain definisi di atas, pengertian muza>ra’ah  secara termonologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, antara lain:
§  Ulama Malikiyah
ألشركة فى الزرع                                                                                              
Perserikatan dalam pertanian
§  Ulama Hanabilah
دفع الأرض الى من يزرعهاأويعمل عليهاوالزرع بينهما                                       
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua

§  Ulama Syafi’i
عمل الأرض ببعض ما يخرج منهاوالبذر من الما لك
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit disediakan pemilik tanah”[7]

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa muza>ra’ah  adalah suatu akad kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja atau petani untuk diolah, sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, seperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu. Hanya saja dalam definisi muza>ra’ah  di atas ulama Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah, apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap maka istilahnya bukan muza>ra’ah  melainkan mukha>barah. [8]
B.       Perbedaan Muza>ra’ah, Mukha>barah dan Musa>qat
a)      Muza>ra’ah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman berasal dari pemilik tanah.
b)      Mukha>barah
Mukhabarah ialah bentuk kerja sama anata pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.[9]
c)      Musa>qat
Bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Kerjasama dalam bentuk musa>qat ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu. [10] Perbedaan tersebut dapat disimpulkan, yaitu:
a.       Muza>ra’ah    :benih dari pemilik lahan
b.      Mukha>baroh :benih dari penggarap
c.       Musa>qat        :perawatan tanaman atau pepohonan 
Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak perbedaan antara muza>ra’ah dan mukha>barah adalah dari sisi asal benih, sedangkan musa>qat adalah kerjasama dalam pemeliharaan dan perawatan pepohonan dalam sebidang kebun.
C.      Dasar Hukum Muza>ra’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muza>ra’ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
إن نبي صلى لله عليه وسلم لم يحرم الزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كا نت له أرض فليزرعها أو ليمنحها اخاه فإن ابى فليمسك ازضه
“Sesungguhnya nabi saw menytakan tidak mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau mneyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki yanah maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnyakepada saudarnya jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”[11]

Dalam membahas hukum muza>ra’ah  para pakar fikih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Beberapa ulama yang memperbolehkannya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik, Ahmad serta Dawud Az-Zhahiri didasarkan pada hadis Nabi berikut.
عنِ ابنِ عمر رضي الله عنهما أَنَ رسول الله عليه وسلَم عا مل أهل خيبر بِشطر ما يخرج منها من ثمر أَوزرع.
Dari Ibnu Umar  bahwa Rasullullah melakukan kerja sama (penggarapan tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman. (Muttafaq ‘alaih)

Mereka yang memperbolehkan akad muza>ra’ah  berdasarkan pendapat bahwa muza>ra’ah  merupakan akad syirkah antara modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad mud}arabah yang hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak (dibutuhkan). Akad muza>ra’ah  tersebut diperbolehkan sebagaimana akad ija>rah dari segi kerjasama dalam hal penggarapan tanah. Adapun upah dari muza>ra’ah  adalah ditentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.[12]
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam asy-Syafi’i tidak membolehkannya.[13] Hal ini didasari oleh hadis Nabi.
وعن ثَابِت بنِ الضحاك رضي الله عنه أَنَ رسول الله صلَى الله عليه وسلم نهى عنِ الْمزارعة وَأَمر  بِا لْمؤاجر
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang untuk melakukan muza>ra’ah, dan memerintahkan untuk melakukan mua>jarah (sewa-menyewa). (HR. Muslim)

Obyek akad dalam muza>ra’ah  dinilai memiliki dimensi spekulatif yang tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil panen yang belum ada (ma’du>m) dan tidak jelas (jaha>lah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi untuk terjadinya kerugian. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan akad muza>ra’ah  dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk Khaibar, bukanlah muza>ra’ah , melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus dibayarkan kepada Rasulullah Saw setiap kali panen dalam presentase tertentu.
Adapun menurut jumhur ulama fikih hukum muza>ra’ah adalah diperbolehkan. Dasar kebolehannya secara khusus merujuk pada hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:
عن ا بنِ عمررضي الله عنه أَن رسول الله صلى الله عليه وسلم عامل أهل خيبربشرط مايخرج منها من زرع أوثمر
Bahwasanya rasulullah memperkerjakan penduduk khaibar dalam pertanian dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”.(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i).[14]

Selain itu dalam kitab Subul as-Sala>m dijelaskan bahwa larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, merekapun sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk kebelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadis tentang larangan muza>ra’ah tersebut memiliki batasan, yakni jika dalam perjanjianya terdapat peraturan yang menekan salah satu pihak, sehingga memberatkannya.[15]
Akad muza>ra’ah  ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ija>rah. Muza>ra’ah  menyerupai akad syirkah dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Muza>ra’ah  juga menyerupai akad ija>rah  dan upahnya adalah bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan.[16]
Adapun bentuk muza>ra’ah yang diharamkan oleh Islam menurut al-Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Hala>l wa al-Hara>m adalah muza>raah yang didalamnya terdapat unsur penipuan dan ketidak jelasan yang membawa kepada perselisihan. Para pemilik lahan mensyaratkan agar ia mendapat hasil bagian pada lahan tertentu dan hasil pada bagian lahan yang lainnya untuk petani penggarap.
Pada praktik tersebut terdapat unsur penipuan dan ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa kepada perselisihan antara keduanya.[17] Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 700 m tertentu.
Cara seperti ini adalah cara muza>ra’ah  yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 300 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Apabila sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara tersebut merupakan pembagian yang lebih adil untuk kedua belah pihak.
Dengan demikian kita dapati bahwa pendapat jumhur ulama (Malikiyah, Hanabilah dan Zhahiriyah) adalah pendapat yang lebih kuat, yaitu hukum bolehnya akad muza>ra’ah  ini. Hal itu dikarenakan akad muza>ra’ah  ini sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah dan maqa>s}idnya. Akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani yang tidak memiliki lahan olahan dengan para pemilik lahan yang tidak mampu mengolah lahannya, dengan ketentuan hasilnya mereka bagi dengan sesuai dengan kesepakatan bersama.

D.      Rukun dan Syarat Muza>ra’ah
1.      Menurut Ulama Hanafiyah
Rukun muza>ra’ah  menurut ulama Hanafiyah hanya berupa i>ja>b (ungkapan penyerahan lahan dari pemilik lahan) dan qabu>l (pernyataan menerima lahan untuk diolah dari petani) yang keduanya harus diucapakan secara jelas.
2.      Menurut Ulama Hanabilah
Adapun ulama Hanabilah tidak mensyaratkan adanya qabu>l.  secara lafadz, namun cukup dengan suatu tindakan saja yang menunjukkan adanya qabu>l. Dengan demikian qabu>lnya hanya berupa perbuatan dari penggarap.[18]
Adapun jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah  mengemukakan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muza>ra’ah  menurut mereka adalah:
a)      Pemilik lahan
b)      Petani penggarap
c)      Objek muza>ra’ah  yaitu antara manfaat dan hasil kerja petani. Apabila bibit berasal dari petani maka objeknya adalah manfaat lahan dan apabila bibit berasal dari pemilik lahan maka objeknya adalah hasil kerja petani.[19]
d)     I>ja>b dan qab>ul. Namun dalam hal ini, ulama mazhab Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan (qabu>l) akad muza>ra’ah  tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung mengolah lahan tersebut.[20]
Menururt Hanafiah akad muza>ra’ah  adalah sama dengan akad syirkah lainnya, yakni termasuk akad yang ghairu la>zim (tidak mengikat). Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit, maka akad menjadi la>zim (mengikat). Akan tetapi menurut pendapat yang kuat di kalangan Malikiyah, semua syirkah amwa>l hukumnya la>zim dengan telah terjadinya I>>ja>b  qabu>l. Sedangkan menurut Hanabilah muza>ra’ah  dan musa>qah merupakan akad yang ghairu la>zim yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak dan akad menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak. [21]
Adapun penjelesan mengenai syarat muza>ra’ah, secara singkat Ali ‘Abd ar-Rasul menjelaskan dalam karyanya al-Maba>di’ al-Iqtis}a>di> fi al-Isla>m, bahwa syarat sah muza>ra’ah  ada delapan, antara lain:[22]
Adanya dua pihak yang berakad
1.      Adanya lahan yang subur untuk pertania
2.      Jelasnya asal benih
3.      Jelasnya bagian orang yang tidak membawa benih
4.      Pemilik lahan tidak ikut campur dalam pengelolaan tanah tersebut (pengelolaan doserahkan sepenuhnya pada penggarap)
5.      Jelasnya jenis benih yang akan ditanam
6.      Ketentuan bagian dari hasil pengelolaan lahan
Sedangkan syarat-syarat muza>ra’ah  menurut jumhur ulama adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang yang akan ditanam, lahan yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad. [23]
1.      Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat lain dari kalangan ulama mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan orang yang murtad dianggap mauqu>f (tidak punya efek hukum sampai  ia masuk Islam kembali). Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan tersebut, karena akad muza>ra’ah  boleh dilakukan antara muslim dan non muslim.
2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang ditanam tersebut jelas dan akan menghasilkan.
3.      Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah:
a)      Menurut adat dikalangan para petani, lahan tersebut bisa diolah dan menghasilkan. Jika lahan tersebut adalah lahan yang tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan lahan pertanian, maka  akad muza>ra’ah  tidak sah.
b)       Batas-batas lahan itu jelas.
c)       Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah. Apabila disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut mengolah pertanian itu, maka akad muza>ra’ah  tidak sah.
4.      Adapun syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
a)      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar.
c)      Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya
d)     Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan bahwa bagian tetentu diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.[24]
E.       Bentuk-Bentuk Akad Muza>ra’ah
Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari segi sah atau tidaknya akad muza>ra’ah . Maka ada empat bentuk muza>ra’ah  tersebut, yaitu:
1.      Apabila lahan dan bibit  dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
2.      Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah  adalah manfaat lahan, maka akad muza>ra’ah  juga sah.
3.      Apabila lahan, alat, bibit, dari pemilik lahan dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani, maka akad muza>ra’ah  juga sah.
4.      Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan sedangkan bibit dan kerja dari petani maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf  dan Muhammad menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikut pada lahan. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian menurut mereka harus  mengikut pada petani penggarap bukan kepada pemilik lahan.
F.   Akibat Akad Muza>ra’ah  
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah , apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah: [25]
1.      Petani (penggarap) bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut.
2.      Biaya pertanian seperti biaya pupuk, penuaian serta pembersihan tanaman ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3.      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
4.      Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak . apabila tidak ada kesepakatan maka berlaku kebiasaan di tempat masing-masing.
5.      Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya.
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muza>ra’ah yang fasid atau tidak tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan diatas, antara lain:[26]
1.      Tidak ada kewajiban apapun bagi muzari’ (penggarap) dari pekerjaan muza>ra’ah karena akadnya tidak sah.
2.      Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih, baik pemilik tanah mauun penggarap. Dalam hal ini malikiyah dan Hanabilah sepakat dnegan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akdnya fasid maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
3.      Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh upah atas pekerjaannya, karena fasidnya akad muza>ra’ah tersebut. Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah berhak memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam dua kasus ini status akadnya menjadi sewa-menyewa.
4.      Dalam muza>ra’ah yang fasid, apabila muza>ri’ telah menggarap tanah tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujrah al-mis|li), meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena muza>ra’ah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun dalam muza>ra’ah yang shahih, apabila tanah garapan tidak menghasilkan apa-apa, maka muza>ri’ dan pemilik tanah sama sekali tidak mendapatkan apa-apa.
5.      Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam muza>ra’ah yang fasid harus ditetapkan dengan jumlah yang disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar penuh, karena ia merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah dipenuhi oleh penggarap.
G.  Ketentuan Muza>ra’ah  dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)[27]
Dalam KHES pasal 256-265 dijelaskan beberapa peraturan berkaitan pelaksanaan akad muza>ra’ah , yakni:
  1. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan menggarap.
  2. Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang diterimanya.
  3. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.
  4.  Akad muza>ra’ah  dapat dilakukan secara mutlak dan atau terbatas.
  5. Jenis benih yang akan ditanam dalam muza>ra’ah  terbatas harus dinyatakan secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap.
  6. Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam dalam akad muza>ra’ah  yang mutlak.
  7. Penggarap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
  8. Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muza>ra’ah  mutlak.
  9. Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
  10. Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muza>ra’ah , dapat mengakibatkan batalnya akad itu.
  11. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan pelanggaran sebagaimana dalam huruf (10) menjadi milik pemilik lahan.
  12. Dalam hal terjadi keadaan seperti pada ayat (11), pemilik lahan dianjurkan untuk memberi imbalan atas kerja yang telah dilakukan penggarap.
  13. Penggarap berhak melanjutkan akad muza>ra’ah  jika tanamannya belum layak dipanen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.
  14. Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerjasama muza>ra’ah  yang dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
  15. Hak menggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen.
  16. Ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad muza>ra’ah  yang dilakukan oleh pihak yang meninggal.
  1. Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di Indonesia
Pada dasarnya, baik muza>ra’ah, mukha>barah dan musa>qat  adalah konsep kerja sama bagi hasil dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam praktiknya, sebenarnya muza>ra’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan yang dikenal istilah bagi hasil. Khususnya di tanah Jawa, praktik ini biasa disebut dengan maro, mertelu dan mrapat. [28] Penerapan sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat pedesaan yang hidupnya mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan membentuk kerjasama antara pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari rasa persaudaraan antara kedua belah pihak, dan juga sangat membantu mereka yang memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh.[29] Perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat.  Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam keentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa:
Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap” berdasrkan perjanjian mana penggerap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggrakan usaha pertanian di atas pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”

Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undnag ini sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum poin 3 disebutkan:
  1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan oenggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
  2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersdia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
  3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan rakyat”.
I.          Operasional Akad Muza>ra’ah  di Lembaga Perbankan Syari’ah
Sektor pertanian (agribisnis) yang merupakan basis pertumbuhan ekonomi pedesaan, sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, sampai saat ini para petani masih dihadapkan pada kesulitan pembiayaan untuk pengembangan usahanya. kurangnya keberpihakan perbankan syariah pada sektor pertanian indikasinya jelas, bahwa pembiayaan bank syariah dalam sektor pertanian masih sangat minim. Begitu banyaknya skim-skim bank syariah yang beroperasi saat ini, namun faktanya pembiayaan bank syariah dalam sektor ini masih sangat sedikit dibanding dengan sektor lainnya.  Dengan kata lain, sektor pertanian masih dipandang sebelah mata oleh perbankan syariah saat ini
Hal ini dikarenakan dari sudut pandang perbankan sendiri sektor pertanian kurang menarik untuk berinvestasi. Karakteristik kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Selain itu, minimnya pembiayaan disektor ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi perbankan, sebab pembayaran terhadap pembiayaan yang diberikan tidak secepat pembiayaan dalam sektor perdagangan. Jika pada sektor perdagangan intensitas hasil dapat dihitung dalam waktu yang relatif singkat, bisa per-bulan, per-minggu bahkan per-hari. Berbeda dengan pembiayaan pertanian yang menunggu waktu yang relatif lama, empat atau enam bulan.
Dalam khazanah hukum bisnis syariah, hukum Islam telah memberikan aturan khusus bagi penerapan kontrak kerjasama pengolahan lahan tersebut dengan cara khusus sebagaimana dalam akad muza>ra’ah.. Secara teknis, kontrak muza>ra‘ah tidak berbeda jauh dengan kontrak mudharabah. Hanya saja muza>ra‘ah berarti khusus untuk pengolahan lahan pertanian sebagai pengganti dari produksi yang diatur oleh suatu aturan tertentu. Oleh karena itu, teknis pengaplikasian sistem ini dalam perbankan syariah hampir sama dengan sistem pembiayaan mudharabah.
Kondisi ini terjadi disebabkan terdegradasinya visi ekonomi syariah pada perbankan syariah, disamping ketidakmampuan perbankan syariah untuk menggali dan mendinamisasi konsep agribisnis syariah secara praktis di lapangan. Dengan demikian, menjadikan bank syariah sebagai bank yang hanya berorientasi profit minded tanpa memperhatikan kesejahteraan merata akan mereduksi makna kesyariahan, lebih dari itu akan mencederai ekonomi syariah itu sendiri.
Lebih penting dari itu, bahwa sudah saatnya umat Islam menggali sistem ekonomi Islam dalam bidang agribisnis yang teruji secara konsep dan praktis. Belum maksimalnya pemberdayaan ekonomi di bidang pertanian menunjukkan bahwa terjadi kesalahan dalam melihat konsep pertanian negeri ini. Adagium ibarat “petani mati di lumbung” menandakan terjadi kesalahan besar manajemen pertanian di Indonesia. Tentu pembahasan konsep ini harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sistem pertanian, manajemen pertanian hingga tata kelola swasta dan negara dalam bidang pertanian.[30]
J.    Zakat Muza>ra’ah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Adapun dalam mukhabarah yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanag seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatn dibagi dua.
Menurut Yusuf Qaradhawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang yang oleh karena itu wajib secara bersamaan menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasq, masing-masing mengeluarkan 10% darpi bagiannya.[31]
K.      Implikasi dari Penerapan Akad Muzara>’ah
         Apabila praktik muzara’ah dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dikemukakan diatas, maka secara riel diterapkannya bagi hasil dengan menggunakan akad muza>ra’ah akan berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti saling tolong menolong dimana antara pemilik tanah dan yang menggarapnya saling diuntungkan serta menimbulkan adanya rasa keadilan dan keseimbangan[32]. Lebih lanjut hikmah yang terkandung dalam muza>ra’ah adalah:
  1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
  2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
  3. Dapat mengurangi pengangguran.
  4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
  5. Dapat mendorong pengembangan sektor riel yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.
L.       Berakhirnya Akad Muza>ra’ah [33]
   Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah karena sebab-sebab berikut:
1.      Jangka waktu yang disepakati berakhir, akan tetapi apabila jangka waktu sudah habis sedangkan hasil penen belum layak panen maka akad tersebut tidak dibatalkan sampai panen tiba, dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam waktu menunggu panen tersebut, menurut jumhur ulama petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimum yang berlaku bagi petani setempat. Selanjutnya, dalam masa menunggu masa panen tersebut biaya tanaman seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupkana tanggung jawab bersama pemilik lahan dan petani sesuai persentase pembagian masing-masing.
2.      Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Hanabila, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad muza>ra’ah berkahir, karena mereka berpendapat bahwa akad muza>ra’ah  tidak dapat diwariskan. Akan tetapi ulama mazhab Maliki dan mazhab Syaafi’i berpendaat bahwa akad muza>ra’ah  dapat diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berkahir dengan wafatnya salah satu pihak yaang berakad.
3.      Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik lahan maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad muza>ra’ah  tersebut. Uzur yang dimaksud antara lain adalah:
a)      Pemilik lahan terbelit hutang, sehngga lahan pertanian tersebut harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat me;unasi hutang tersebut. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi apabila tumbuh-tumbuhan tersebut telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka lahan tersebut boleh dijual sebelum panen.
b)      Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan ke luar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan untuk bisa sembuh sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa muza>ra’ah  merupakan akad kerjasama antara pemilik tanah pertanian dan penggarap (petani) dengan cara pemilik tanah menyerahkan tanahnya berikut dengan benihnya kepada pihak penggarap untuk diolah yang hasilnya dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.Muza>ra’ah menurut jumhur ulama hukumnya diperbolehkan, karena muza>ra’ah adalah termasuk akad kerjasama antara modal dengan pekerjaan seperti halnya mudharabah.
Pada hakikatnya muza>ra’ah merupakan salah satu dari bentuk kerjasama bagi hasil dalam bidang pertanian. Adapun perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat.  Konsep perjanjian bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian
Akad muza>ra’ah  ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah dan ija>rah. Muza>ra’ah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk penggarap. Muza>ra’ah  juga menyerupai akad ija>rah  dan upahnya adalah bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam praktik muzara’ah agar akad tersebut menjadi akad yang sah.
Jika merujuk dari karakter sistem muza>ra’ah, terdapat beberapa hikmah dan keuntungan yang dapat diambil dalam pemberlakuan akad tersebut, antara lain terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tertanggulanginya kemiskinan, terbukanya lapangan pekerjaan terutama bagi petani yang memiliki kemampuan  bertani.
Namun demikian, menurut hemat penulis sistem muza>ra'ah ini jarang sekali diaplikasikan dalam dunia perbankan, karena karakteristik kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun jatuhnya harga telah menyebabkkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Oleh karena itu diperlukan adanya pembedahan konsep teorotis ke dalam konsep aplikatif, sehingga akad muza>ra’ah mudah diberlakukan dalam membangun  kerjasama antara sektor agribisnis dan sektor perbankan. Wallahu a’lam bi as-s}awab
 Daftar Pustaka
---------,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia: Konsep, Regulasi dan Implementasi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2010.
Anwar, Moh., Fiqih Islam:Mua>’amalah, Muna>kahat, fara>id dan Jina>yah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, Bandung:al-Ma’arif, 1988.
Dahlan,Abdul Azizi et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Ghazali, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, Cet. ke-1, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010.
Haroen, Nasroen, Fiqh Mu’amalah, Cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama,2007.
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalat, Jakarta:Mizan, 2010.
Nabhani, Taqiyuddin an-, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Cet.ke-9, Surabaya: Risalah Gusti, 2009.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, Jakarta:Sinar Grafika,1996.
Qaradlawi, Yusuf al-,  al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, cet ke-13, Beirut:al-Maktab al-Isla>m,1980.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, alih bahasa Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf Prima Yasa, 1995.
Rasul, Ali Abd ar-, al-Maba>di’ al-Iqtis}a>d fi al-Isla>m, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980.
Sahrani, Sohari dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Syariffudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor:Kencana, 2003.
Thayyar, Abullah bin Muhammad ath-, Ensiklopedia Fikih Muamalah dalam pandangan 4 Mazhab, alih bahasa Miftahul Khairi, Yogyakarta:Maktabah al-Hanif, 2009.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6, Cet ke-4, Damaskus: Da>r al-Fikr, 2004
Zuhdi, Masjfuk, Masa<il Fiqhiyah, Cet.ke-10, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.



[1]Yusuf al-Qaradlawi, al-H}ala>l wa al-H}ara>m fi al-Isla>m, Cet.ke-13, (Beirut:al-Maktab al-Isla>m,1980), hlm. 267-278.
[2]Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet.ke-1, hlm.114.
[3]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Mizan, 2010), hlm. 391.
[4]Ibid., hlm.392.
[5] Abdul Rahman Gazali dkk, Fiqih Muamalat........, hlm. 115.
[6]Masjfuk Zuhdi, Masa>il Fiqhiyah, Cet.ke-10, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hlm.130.
[7]Nasroen Haroen, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. ke-2, hlm. 275.
[8]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat......, hlm.394.
[9]Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalat......, hlm.117.
[10]Amir Syariffudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 243.
[11] Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 215.
[12]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 6, Cet.ke-4, (Damaskus:Da>r al-Fikr, 2004), hlm. 4685.
[13]Ibid., hlm. 4684.
[14]Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat......, hlm.115.
[15]Moh.Anwar, Fiqih Islam:Mua>’amalah, Muna>kah}at, fara>id dan Jina>yah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaidah-Kaidah Hukumnya, (Bandung: al-Ma’arif, 1988), hlm. 78-79.
[16]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh....., hlm. 4687.
[17]Al-Qaradlawi, al-Hala>l wa al-Hara>m......,hlm. 270.
[18]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu......, hlm. 4686.
[19]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, cet. ke-3, (Damaskus:Da>r al-Fikr,1989), hlm.615.
[20]Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),  hlm. 1273.
[21]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu....., hlm. 4686-4687.
[22]Ali Abd ar-Rasul, al-Maba>di’ al-Iqtis{a>di> fi al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1980), hlm.29-30.
[23]Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam......, hlm.1273.
[24]Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu....., hlm. 4688.
[25] Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam......, hlm.1274.
[26]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Mu’amalat....., hlm.402-403. Baca penjelasan lebih rinci dalam Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Juz 5, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm.625-626.
[27] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.76-79.
[29]Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,1996), hlm. 61.
[31] Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqih Muamalat......hlm.119.
[32] Sohari sahrani dan Ruf’ah Abdullah, Fikih Mu’amalah.......,hlm. 218.
[33]Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam......, hlm.1274. Baca: Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu......, hlm. 4700-4702.

1 komentar:

  1. wah, keren lengkap dengan dalilnya.
    yang butuh info pertanian, saya rekomendasikan jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia, adalah blog baru yang cukup bagus menyediakan referensi seputar pertanian, sesuai dengan namanya jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia memang tidak hanya membahas teori saja, namun infonya juga bersifat aplikatif, karena itulah banyak orang yang mengunjunginya DISINI>> jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia
    yang mencari info tentang nama latin tumbuhan juga ada, silakan klik DISINI>> nama ilmiah tumbuhan
    info ini juga dipersembahkan oleh minuman berenergi

    BalasHapus